Friday, April 13, 2012

Kisah Pertaubatan Pembunuh Seratus Orang

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, dia berkata “Aku tidak bercerita kepada kalian, kecuali cerita itu telah aku dengar langsung dari Rasulullah saw. Kedua telingaku telah mendengarnya sendiri dan telah kusimpan di dalam hatiku pula.”

Hiduplah seseorang yang telah membunuh 99 orang. Dia kemudian ingin bertaubat, lalu dia pun bertanya kepada orang yang dianggap paling pandai di atas bumi ini. Oleh orang tersebut disarankan untuk menemui seseorang, dia pun berangkat untuk menemuinya. Setelah bertemu dengan orang yang dimaksud, dia lalu bertanya, “Aku ini adalah orang yang telah melenyapkan 99 nyawa, apakah aku masih dapat bertaubat?”

“Kamu telah membunuh 99 orang!” kata orang itu kepadanya.
Mendengar jawaban orang yang pandai demikian itu, lalu dihunuslah pedangnya dan orang pandai itu pun meninggal di tangannya, sehingga genaplah 100 orang dibunuhnya.

Demikianlah, dia tetap bertekad untuk taubat dan seseorang menunjukkannya agar datang menemui seseorang yang dianggap terpandai.
Dia pun datang kepadanya dan bertanya, “Aku telah membunuh 100 orang, apakah aku masih dapat bertaubat?”
“Siapa yang dapat menghalangimu dan bertaubat? Tinggalkan kampung halamanmu yang penuh dengan kemaksiatan itu dan pergilah ke desa yang lebih baik (desa yang menjadikanmu rajin beribadah bila tinggal di sana)!”

Dijalankannya saran orang tersebut, tetapi di tengah-tengah jalan ajal pun datang menjemputnya.

Setelah orang itu meninggal, maka berdebatlah malaikat bagian rahmat dan malaikat bagian azab.
“Akulah yang berhak atas dirinya, karena sesaat pun dia tidak pernah durhaka kepadaku!” kata sang iblis.
“Dia telah keluar untuk bertaubat!” bantah malaikat bagian rahmat.

Hamma berkata, “Telah bercerita kepadaku Humaid ath Thawil dari Bakr bin Abdullah Al Muzani dari Abu Rafi’, dia berkata, ‘Allah SWT lalu mengutus malaikat dan mereka pun mengadukan permasalahan tersebut kepadanya.’”

Kembali pada hadis Qatadah, ia berkata, “Malaikat terakhir itu lalu berkata, ‘Lihatlah kedua desa itu, mana jarak yang paling dekat dengan orang ini?’ setelah diamati ternyata dia lebih dekat jaraknya pada desa yang baik itu.

Hasan telah bercerita kepada kami, bahwasanya saat merasa bahwa dirinya akan segera menemui ajalnya, dia pun mempersiapkan diri dengan duduk dan kemudan Allah-lah yang menggeser posisinya hingga ia lebih dekat ke desa yang baik dan menjauhkannya dari desa yang jelek. Karena itu dia pun dianggap sebagai penduduk desa yang baik (yang hendak ditujunya)

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Meninggalkan Desa yang Penuh Kezaliman

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra:
Tersebutlah dua desa, yang satu diwarnai suasana yang baik dan yang satunya lagi dipenuhi kezaliman. Kemudian seorang laki-laki penduduk desa yang penuh dengan kezaliman itu pergi meninggalkan desanya menuju ke desa yang baik.

Di tengah perjalanan dia dihadang oleh malaikat pencabut nyawa (Izrail) sebagaimana telah dikehendaki oleh Allah SWT. Terjadilah perselisihan antara Malaikat Izrail dengan setan.

“Demi Allah, selamanya dia tidak pernah mendurhakai aku,” kata setan.
“Orang ini keluar dengan tujuan untuk bertaubat,” sanggah malaikat Izrail.

Karena perdebatan antara keduanya tidak kunjung selesai, akhirnya diputuskan untuk mengukur jarak kelebihan (dari posisi tubuhnya yang rebah di bumi itu) antara desa yang baik dan desa yang penuh kezaliman. Setelah diukur, ternyata posisi tubuhnya condong atau mendekati ke desa yang baik dengan terpaut satu jengkal. Karenanya dosanyapun diampuni oleh Allah SWT.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Seorang Pendurhaka

Diriwayatkan dari Rabi’ah bin Utsman At Taimiy:
Dahulu ada seorang laki-laki yang gemar berbuat kemaksiatan kepada Allah SWT. Namun Allah tetap menghendaki atas dirinya menjadi orang baik dan mau bertaubat. Suatu ketika dia berkata kepada istrinya, “Aku akan mencari syafaat kepada Allah.”

Demikianlah, dia lalu keluar menuju ke sebuah tanah lapang dan di sana berseru, “Wahai langit, berilah aku syafaatmu! Wahai gunung berilah aku syafaatmu! Wahai bumi, berilah aku syafaatmu dan wahai malaikat, berilah aku syafaatmu!”

Karena kehabisan energi, akhirnya orang itu pun jatuh tertelungkup di atas tanah. Allah lalu mengutus seorang malaikat, dan oleh malaikat dia didudukkan dan diusap kepalanya seraya berkata, “Berbahagialah kamu, karena sesungguhnya Allah telah menerima taubatmu.”

“Semoga kamu senantiasa mendapat rahmat dari Allah. Siapa sebenarnya yang telah memberikan syafaat kepadaku dari Allah SWT?” tanya laki-laki itu kepada malaikat.

“Rasa takutmu kepada Allah itulah yang memberi syafaat kepadamu,” jawab sang malaikat.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Dua Laki-Laki dari Bani Israil

Diriwayatkan dari Ka’ab al Ahbar:
Ada dua laki-laki dari kaum Bani Israil yang sama-sama berangkat ke masjid. Salah satu masuk ke dalam masjid, sedang seorang lagi hanya duduk di luar saja seraya berkata, “Orang semacam aku ini tidaklah pantas masuk ke Baitullah (masjid), karena aku telah berbuat maksiat kepada-Nya.”

Karena pengakuannya yang tulus itu, dia pun ditulis sebagai orang yang jujur.

Dan ada lagi seorang laki-laki dari kaum Bani Israil yang melakukan perbuatan dosa, dia pun merasa susah karenanya. Dia lalu berjalan kesana-kemari sambil berkata, “Dengan cara apa Tuhanku dapat rela kepadaku? Dengan cara apa Tuhanku dapat rela kepadaku?”

Dengan perbuatannya itu akhirnya dia ditulis sebagai orang yang jujur.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Pemuda yang Alpa Akan Jatidirinya

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih:
Dahulu semasa Nabi Musa as, ada seorang pemuda yang suka melampaui batas dan lupa akan jatidirinya. Karena perilaku yang jelek itulah, akhirnya dia diusir oleh penduduk dari tengah-tengah kaum Bani Israil sendiri, hingga mengantarkannya pada reruntuhan sebuah bangunan yang terletak di pintu gerbang suatu daerah. Di tempat inilah dia menghadapi sakaratul maut.

Allah SWT lalu memberikan wahyu kepada Nabi Musa as dengan firman-Nya, “Bahwa salah seorang wali(kekasih)-Ku telah meninggal dunia. Datanglah ke sana, mandikan dan shalatkanlah ia! Katakan kepada orang yang mempunyai banyak dosa agar ia mau menghadiri jenazahnya dan dia akan Aku ampuni segala semua dosanya serta bawalah dia menghadap-Ku agar Aku menempatkannya di tempat yang sesuai!”

Hal ini pun diumumkan oleh Nabi Musa as kepada seluruh kaum Bani Israil, dan demikianlah berbondong-bondong orang datang melawatnya. Ketika mereka telah tiba di tempat tujuan dan mengenal orang yang meninggal dunia itu, maka berkatalah mereka, “Wahai Nabi Allah, dialah orang fasik yang kita usir dahulu!”

Mendengar ucapan kaumnya ini beliau pun terkejut, dan Allah kemudian memberikan wahyu kepada beliau, “Benar kata mereka itu dan merekalah yang menjadi saksinya, hanya saja saat menjelang akhir hayatnya di reruntuhan ini, dia mencoba melihat kanan-kiri, tetapi dia tidak menemukan seorang kerabat pun. Dia hanya melihat bahwa dirinya sebagai sosok yang asing, sendirian dan hina. Dia lalu menengadah dan memohon kepada-Ku, ‘Wahai Tuhanku, seorang hamba dari sekian banyak hamba-Mu ini merasa asing di negeri-Mu. Seandainya aku tahu, bahwa siksaku akan semakin bertambah di wilayah kerajaan-Mu ini dan ampunan-Mu kepadaku semakin berkurang pula, aku tidak akan meminta akhirat kepada-Mu. Padahal aku tidak mempunyai tempat berlindung dan harapan sedikit pun, kecuali hanya kepada Engkau, dan aku telah mendengar ayat yang telah Engkau turunkan, bahwa Engkau telah berfirman ‘Sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih’ Karenanya, janganlah Engkau sia-siakan harapanku ini!”

“Wahai Musa, apakah bila dia telah berbuat baik kepada-Ku kemudian Aku menolaknya, bukankah dia adalah orang yang asing dalam keadaan yang demikian ini? Dia telah memohon kepada-Ku lantaran Aku sendiri, dan juga telah merendahkan diri di hadapan-Ku. Demi keagungan –Ku, seandainya dia memohonkan ampunan kepada semua orang yang berdoa dari semua penduduk bumi, niscaya karena dia Aku akan memberikan ampunan kepada mereka akibat hinanya pengasingannya. Wahai Musa, Aku adalah Pelindung, Kekasih, Perawat, dan Pengasih orang yang asing!”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Hamba yang Durhaka

Diriwayatkan bahwa pada masa Nabi Musa as, kaum Bani Israil pernah tertimpa kemarau panjang, lalu berkumpullah mereka menemui Nabi Musa as seraya berkata, “Wahai Kalimullah, doakanlah kami kepada Tuhanmu agar Dia berkenan menurunkan hujan kepada kami!”

Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan kemudian berangkatlah bersama mereka menuju ke sebuah tanah lapang. Jumlah mereka ada 30.000 orang atau bahkan lebih.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Nabi Musa as pun mulai berdoa, “Tuhanku, berilah kami siraman dengan air hujan-Mu, tebarkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami berkat anak-anak kecil yang masih menyusu, hewan ternak yang sedang merumput dan orang-orang tua yang bungkuk. Sedang langit menambah kekeringan dan matahari semakin bertambah panas.”

Nabi Musa as kemudian melanjutkan doanya, “Tuhanku, bila Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku di sisi-Mu, maka dengan berkat kedudukan Nabi yang ummi, Muhammad saw yang telah Engkau utus di akhir zaman (aku memohon kepada-Mu).”

Allah kemudian memberi wahyu kepada beliau, “Aku tidak meremehkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya kamu di sisi-Ku adalah orang yang mempunyai kedudukan tinggi. Akan tetapi, bersamamu ini ada orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan selama 60 tahun. Sekarang panggillah semua orang yang ada (dan beritahu mereka) agar orang itu mau keluar dari kelompokmu! Karena itulah Aku melarang (hujan turun) kepada kalian.”

Nabi Musa as lalu berkata lagi, “Wahai Tuhan dan Tuanku. Akulah hamba-Mu yang lemah dan suaraku yang lemah, apalah suaraku ini dapat menjangkau mereka, sedangkan jumlah mereka 70.000 bahkan mungkin lebih?”

Allah pun menurunkan wahyu kepada beliau, “Kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka!”

Nabi Musa as kemudian berdiri dan berseru kepada kaumnya, “Wahai seorang hamba yang durhaka yang telah melakukannya secara terang-terangan kepada Allah sejak 40 tahun yang silam, keluarlah kamu dari kalangan kami, karena engkaulah hujan tidak diturunkan kepada kami!”

Mendengar seruan dari Nabi Musa as itu, seorang yang durhaka itu berdiri sambil menengok kanan-kiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorang pun keluar dari kelompok mereka itu. Dengan demikian, tahulah bahwa dirinyalah yang dimaksud sebagai orang durhaka itu. Dia lalu berkata dalam hati, “Jika aku keluar dari kalangan ini, niscaya terbukalah kejahatanku di kalangan para pembesar kaum Bani Israil, tapi bila aku tetap duduk bersama mereka, pastilah hujan tidak akan turun karena diriku.”

Setelah berkata demikian, laki-laki itu lalu menyembunyikan kepalanya di balik baju dan menyesali semua perbuatannya seraya berdoa, “Wahai Tuhan dan Tuanku, aku telah durhaka kepada-Mu selama 40 tahun dan Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku, dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan penuh ketaatan, maka terimalah (taubat)ku.”

Beberapa saat kemudian tampaklah awan putih mulai berarak-arakan di atas langit dan seiring itu hujan pun turun dengan derasnya bagaikan ditumpahkan begitu saja dari atas langit.

Nabi Musa as lalu berkata, “Wahai Tuhan dan Tuanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah di antara kami tidak ada yang keluar (menampakkan dirinya sebagai orang durhaka yang Engkau maksudkan)?”

Allah SWT kemudian berfirman, “Wahai Musa, Aku memberikan hujan ini justru karena orang yang dulunya menyebabkan Aku tidak menurunkan hujan kepada kalian.”

“Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku siapa sebenarnya hamba yang taat itu?” kata Nabi Musa as.

“Wahai Musa, dulu ketika dia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka kejelekannya. Apakah sekarang Aku akan membuka rahasia (aib)nya ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu domba. Sekarang haruskah Aku menjadi pengadu domba?” Demikianlah firman-Nya kepada Nabi Musa as.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Barkha, Seorang Ahli Ibadat

Diriwayatkan dari Ka’ab:
Pada masa Nabi Musa as, kaum Bani Israil pernah ditimpa bencana kekeringan, mereka pun memohon kepada beliau agar memintakan turunnya hujan kepada Allah. Nabi Musa as lalu berkata kepada mereka, “Keluarlah kalian semua bersamaku ke sebuah bukit!”

Kaum Bani Israil menuruti ajakan Nabi Musa as untuk keluar bersama beliau mendaki ke sebuah gunung. Sesampai di tempat tersebut, berkatalah Nabi Musa as kepada mereka, “Orang yang pernah melakukan dosa hendaklah jangan ada yang ikut bersamaku!”

Mereka semua lalu kembali, kecuali hanya seorang laki-laki buta sebelah matanya yang bernama Barkha Al Abid, yang masih setia mengikuti beliau.

“Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?” kata Nabi Musa as kepadanya.
“Ya, aku mendengarnya” jawab Barkha.
“Apakah kamu tidak pernah melakukan dosa?” tanya beliau kepadanya.
“Aku tidak tahu, kecuali sesuatu yang akan kusebutkan ini. Jika itu memang dianggap sebagai suatu dosa, aku akan kembali,” jawab Barkha.
“Apakah itu?” tanya Nabi Musa as kepadanya.

“Tadi aku lewat di sebuah jalan, dan di seberang jalan tampak sebuah kamar yang terbuka pintunya. Kemudian mataku yang sekarang buta ini sempat memandang sejenak seseorang yang tidak aku kenal. Kepada mataku, aku lalu berkata, ‘Engkau adalah termasuk anggota tubuhku dan engkau telah lancang melakukan kesalahan. Setelah ini engkau tidak boleh bersamaku lagi!’ setelah berkata demikian maka kutusuk mataku dengan jariku sendiri sehingga berakibat kebutaan ini. Jika perbuatan yang demikian ini juga merupakan perbuatan dosa, aku pun akan kembali” jawabnya kepada Nabi Musa as.

“Itu bukan perbuatan dosa,” kata Nabi Musa as kepadanya.
“Sekarang mohonlah hujan wahai Barkha!” perintah beliau kepadanya.

Barkha kemudian berdoa, “Wahai Dzat Yang Suci, wahai Dzat Yang Suci! Tidak ada sesuatu di sisi-Mu yang mustahil. Dan terhadap kebakhilan, Engkau tidak akan memberi pertolongan, lalu apa yang tidak Engkau

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Tuesday, April 10, 2012

Kisah Pertaubatan Sang Pemilik Kaki

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam:
Di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang laki-laki yang rajin dan tekun beribadat di sebuah surau.

Di surau itu dia beribadat dalam waktu yang cukup lama. Pada suatu hari dia melihat ke luar, ternyata di sana ada seorang wanita yang mampu memikat hatinya. Dia bermaksud mendekatinya, ketika hendak turun dari surau itulah Allah pun berkehendak lain atas dirinya.

Laki-laki itu kemudian berkata, “Apa sebenarnya yang telah kulakukan ini?”
Hati laki-laki itu sadar kembali, dan ia menjaga dirinya, kemudian dia menyesali perbuatannya.

Karenanya, saat melangkahkan kaki kembali ke dalam surau, dia berkata, “Celaka, celakalah kaki yang keluar hendak melakukan kemaksiatan kepada Allah, dan sekarang sudah kembali bersamaku ke dalam surau. Demi Allah, selamanya hal itu tidak akan terulang kembali!”

Demikianlah, laki-laki itu membiarkan kakinya bergelantungan di surau yang senantiasa diterpa oleh angin, hujan, matahari dan embun sehingga kaki itu terputus dan jatuh, dan kemudian Allah SWT menerima syukurnya.

Karena perbuatannya, kemudian namanya diabadikan dalam sebuah kitab dengan nama “Pemilik Kaki” dan begitulah orang-orang menyebutkan.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Salah Seorang Ahli Ibadat

Diriwayatkan dari Syu’bah:
Bahwa dahulu kala ada seorang ahli ibadat yang mengajak berbicara dengan seorang wanita, dia terus berbicara hingga tanpa disadari tangannya sudah berada di atas paha si wanita itu.

Demikianlah, saat sang ahli ibadat itu menyadari ketidaksengajaannya, dia pun segera pergi meninggalkan wanita itu. Akhirnya tangannya itu diletakkannya di atas bara api hingga kering terbakar.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Seorang Pendeta Bani Israil

Diriwayatkan dari Mughits bin Sumayyin:
Di kalangan Bani Israil dulu ada seorang pendeta yang beribadat di sebuah pertapaan selama 60 tahun. Pada suatu hari dia memandang ke ujung langit, lalu dia kagum pada bumi. Dia berkata “Sebaiknya aku turun dan kemudian mendaki di atas gunung, sehingga aku dapat melihat-lihat pemandangan alam di sana.”

Orang itu lalu turun dengan berbekal sepotong roti. Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri dan merayunya dengan membuka aurat di depannya. Si pendeta itu pun tidak dapat menguasai diri, bahkan akhirnya terjerumus dalam suatu perbuatan yang dilarang oleh agama dan akhirnya ia meninggal seketika itu juga.

Setelah si pendeta itu meninggal, datanglah seseorang yang kemudian diberi sepotong roti pendeta itu, dan orang itu akhirnya meninggal pula.

Kemudian amal ibadatnya selama 60 tahun itu didatangi dan diletakkan di telapak tangannya. Sementara semua kesalahannya juga diletakkan di telapak tangannya, kemudian ditimbang. Dan ternyata amalnya yang kalah. Setelah itu didatangkan amal (roti) tadi yang selanjutnya ditimbang dengan kesalahannya, ternyata roti dapat mengalahkan semua kesalahannya.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Seorang Pemilik Roti

Diriwayatkan dari Abu Burdah;
Ketika menjelang wafat Abu Musa sempat berkata kepada putranya, “Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seorang pemilik roti!

Dahulu di sebuah pertapaan ada seorang laki-laki tekun beribadah selama 70 tahun. Dia tidak pernah meninggalkan pertapaannya, kecuali pada hari-hari tertentu. Kemudian suatu ketika dia digoda oleh seorang wanita hingga dia pun terjatuh dalam bujuk rayunya, bahkan sempat tinggal bersama selama 7 hari sebagaimana layaknya suami-istri.

Setelah dia sadar dan taubat, maka ditinggalkannya pertapaan tersebut dan setiap kali melangkahkan kakinya senantiasa diikutinya dengan shalat dan bersujud. Sampailah dia di sebuah kedaii yang di dalamnya terdapat 12 orang miskin, sang pertapa itu pun bermaksud bermalam di sana. Karena tidak kuat menahan rasa letihnya dari sebuah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya dia tertidur pulas di antara beberapa laki-laki miskin dalam kedai tersebut.

Sementara itu, di sekitar kedai tersebut hiduplah seorang pendeta yang setiap malam selalu mengirimkan beberapa potong roti kepada penghuni kedai dengan masing-masing orang mendapatkan sepotong. Suatu saat datang pula pemilik roti lainnya yang juga membagi-bagikan roti kepada setiap penghuni kedai sepotong-sepotong, dan pertapa yang bertaubat yang melintas di depannya juga diberinya, karena dikira sebagai orang miskin sebagaimana penghuni lain dari kedai itu.

Salah seorang di antara orang-orang miskin ada yang tidak kebagian roti dari pemilik roti tersebut, dan berkatalah dia kepadanya, “Mengapa Anda tidak memberikan roti ini kepadaku?”
“Anda lihat sendiri, apakah aku menyimpan roti untuk Anda? Coba tanyakan kepada mereka, adakah salah seorang dari mereka yang kuberi roti sampai dua potong?” tanya pemilik roti itu.
“Tidak,” jawab para penghuni kedai serempak.
“Demi Allah, pada malam ini aku tidak akan memberikan sedikit pun roti kepadamu!” jawab pemilik roti itu.

Kemudian laki-laki yang bertaubat itu bermaksud mengambil roti yang telah diberikan kepadanya tadi untuk diberikan kepada orang yang tidak kebagian roti tersebut. Lalu keesokan harinya orang yang bertaubat itu meninggal dunia, dan ditimbanglah amal ibadah selama 70 tahun dengan kemaksiatan (dosa) yang dilakukannya selama 7 malam. Akan tetapi, ternyata amal ibadat selama 70 tahun itu terkalahkan dengan dosa akibat perbuatannya selama 7 malam, dan ketika dosa perbuatannya selama 7 malam itu ditimbang dengan sepotong roti, amal sepotong roti tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama 7 malam itu.”

Abu Musa lalu berkata, “Wahai anakku, ingatlah kamu akan pemilik roti itu!”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Pemfitnah dan Seorang Gadis

Diriwayatkan dari Bakr bin Abdullah Al Muzani;
Dulu ada seorang pemfitnah jatuh cinta kepada gadis tetangganya sendiri. Suatu ketika keluarga si gadis itu memerintahkan kepadanya pergi ke suatu desa untuk satu keperluan. Melihat si gadis itu hendak pergi, maka si laki-laki pemfitnah itu mengiringinya dari belakang. Ketika sampai di suatu tempat, laki-laki itu lalu merayunya, akan tetapi si gadis menolak dengan perkataannya, “Jangan kamu lakukan itu, sebenarnya aku sangat mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, akan tetapi aku takut kepada Allah!”
“Engkau takut kepada-Nya, tetapi aku tidaklah takut!” jawab si laki-laki itu kepadanya.

Setelah berkata demikian, laki-laki itu bermaksud kembali pulang untuk bertaubat. Akan tetapi, di tengah-tengah perjalanan tenggorokannya serasa tercekat oleh rasa dahaga yang sangat. Demikianlah, tiba-tiba seorang Nabi Bani Israil datang menghampirinya dan bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku sangat kehausan,” jawabnya singkat.
“Mari kita berdoa kepada Allah agar diberi peneduh berupa awan yang memayungi kita hingga dapat mencapai sebuah desa!” kata sang Nabi.
“Aku tidak mempunyai apapun,” jawab laki-laki itu.
“Apabila demikian, akulah yang akan berdoa dan engkau yang mengamininya,” kata sang Nabi.

Kemudian mulailah Nabi itu berdoa dan dia yang mengamini. Tidak lama kemudian, Allah pun mendatangkan awan yang memayungi mereka hingga sampailah mereka di sebuah desa. Saat laki-laki pemfitnah itu mengambil tempat, maka awan itu condong kepadanya.

Sebentar kemudian maka pamitlah sang Nabi seraya berkata, “Tadi kamu yakin bahwa dirimu tidak mempunyai amal apapun, sehingga aku yang berdoa dan kamu yang mengamini sampai kita dipayungi oleh awan dan aku pun lalu mengantarkanmu sampai di sini untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi denganmu?”

Sang pemfitnah itu lalu menceritakan panjang-lebar tentang keadaan dirinya. Usai mendengar ceritanya, Nabi itu lalu berkata, “Orang yang telah bertaubat itu berada dalam suatu tempat yang tidak dapat dimiliki oleh orang lain.”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Sang Ahli Ibadat dan Pelacur

Diriwayatkan dari Al Hasan; Dulu ada seorang wanita pelacur yang sangat cantik. Dia tidak mau melayani kecuali jika dibayar seratus dinar.

Pada suatu hari ada seorang ahli ibadat melihatnya dan kemudian terpikat olehnya. Laki-laki itu akhirnya pergi mencari pekerjaan guna mengumpulkan uang sebanyak seratus dinar. Setelah uang sebanyak itu ia dapatkan, dia pun pergi menemui wanita itu seraya berkata, “Sesungguhnya aku tergoda oleh kecantikanmu, karenanya aku lalu pergi mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang seratus dinar.”
“Silahkan masuk,” pinta si wanita itu.

Orang ahli ibadat itu kemudian masuk ke rumahnya. Di rumah wanita pelacur itu mempunyai sebuah tempat tidur terbuat dari emas. Wanita itu lalu duduk di tempat tidurnya seraya berkata, “Ayo cepat!”

Ketika laki-laki tersebut hendak memuaskan hasratnya kepada wanita tadi, seketika itu pun dia ingat akan kedudukan dirinya di sisi Allah dan gemetarlah seluruh persendiannya. Laki-laki itu lalu berkata kepada si wanita teman kencannya, “Biarlah aku keluar meninggalkanmu dan uang seratus dinar itu menjadi hakmu!”

“Apa yang terjadi kepada dirimu, bukankah kamu telah tergila-gila kepadaku hingga kamu pun memeras keringat untuk mendapatkan uang sebanyak seratus dinar? Sekarang kamu telah mendapatkan diriku, akan tetapi kamu justru meninggalkanku,” kata si wanita itu kepadanya.

“Ini karena aku takut kepada Allah dan juga atas kedudukanku di sisi-Nya. Kamu telah membenciku dan demikian juga kamulah orang yang paling aku benci,” kata laki-laki itu.

“Jika yang kamu katakan itu benar, aku tidak akan bersuami selain dengan dirimu,” jawab si wanita kepadanya.
“Biarkanlah aku keluar!” pinta laki-laki itu.
“Tidak, kecuali bila kamu bersedia menjadi suamiku!” desak wanita tadi.
“Tidak, biarkanlah aku keluar dulu!” jawab laki-laki tersebut.
“Apa yang membuatmu merasa berat bila aku datang memohon kepadamu untuk menikahi diriku?” kata wanita tersebut.

“Mungkin saja” jawabnya, sambil mengenakan cadar dengan kain bajunya, lalu keluar dari daerah tersebut. Demikian pula si wanita itu ikut keluar seraya bertaubat kepada Allah dan menyesali semua perbuatan yang pernah dilakukannya. Wanita itu terus berjalan hingga akhirnya sampailah dia ke tempat asal si laki-laki ahli ibadat itu. Si wanita itu lalu bertanya ke sana-kemari perihal laki-laki ahli ibadat yang pernah mendatanginya. Akhirnya jerih payahnya untuk menemukan laki-laki tersebut membuahkan hasil.

Seseorang lalu datang menghadap laki-laki ahli ibadat yang dimaksud wanita tersebut seraya berkata, “Sesungguhnya sang permaisuri telah datang kepadamu.”

Ketika sang ahli ibadat melihat kedatangan wanita itu, dia terkejut sambil menjerit dan jatuh dalam rengkuhan tangan si wanita itu. Ternyata dia telah meninggal dunia seketika itu juga. Si wanita itu lalu bertanya, “Si Fulan ini telah meninggalkan aku untuk selama-lamanya, apakah dia masih mempunyai sanak keluarga?”
“Saudaranya adalah seorang laki-laki yang miskin,” jawab mereka yang hadir.
“Jika demikian, aku akan menikah dengannya karena kecintaanku kepada saudaranya,” jawab si wanita itu.

Akhirnya wanita tersebut dinikahkan dengan saudara laki-laki si ahli ibadat itu. Dan dari hasil pernikahan tersebut, Allah SWT mengaruniakan kepada mereka tujuh orang Nabi as.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Al Kifli

Diriwayatkan dari Ibnu Umar; Sungguh aku mendengar suatu kisah dari Rasulullah saw: Di kalangan kaum Bani Israil dulu ada seorang laki-laki bernama Al Kifli. Dia adalah seseorang yang tidak pernah mempedulikan segala dosa yang pernah dilakukannya. Pada suatu ketika ia didatangi oleh seorang wanita, kepada wanita itu ia lalu memberinya uang enampuluh dinar dengan syarat ia harus mau diajak melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami-istri.

Ketika Al Kifli sudah siap akan melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami-istri, tiba-tiba si wanita itu gemetar dan menangis. Al Kifli pun bertanya kepada wanita itu, “Mengapa kamu menangis, apakah kamu merasa kupaksa?”
“Tidak, akan tetapi selamanya aku belum pernah melakukan perbuatan semacam ini!” jawab wanita itu.
“Mengapa kamu mau melakukan hal ini padahal sebelumnya kamu belum pernah melakukannya?” tanya Al Kifli kepadanya.
“Karena aku sangat membutuhkan uang,” jawab wanita itu.

Setelah mendapatkan penjelasan wanita itu, Al Kifli lalu meninggalkannya seraya berkata, “Pergilah kamu dan uang ini untukmu!”
Dia kemudian berkata, “Demi Allah, Al Kifli selamanya tidak akan melakukan lagi kemaksiatan kepada Allah!”

Setelah itu Al Kifli meninggal dunia pada malam itu juga dan pada keesokan harinya di pintu rumahnya ada sebuah tulisan yang berbunyi, “Allah telah mengampuni dosa Al Kifli.”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Para Penghuni Gua

Diceritakan dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

Suatu saat ada tiga orang yang sedang berjalan, tiba-tiba turunlah air hujan yang sangat lebat mengguyur mereka, akhirnya mereka berteduh di sebuah gua yang berada di sebuah bukit. Karena hujan turun dengan derasnya, akhirnya menggelincirkan sebuah batu besar dari atas bukit yang berakibat menutup mulut gua yang mereka huni. Salah satu dari ketiga orang itu ada yang berkata kepada temannya, “Ingat-ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan, kemudian berdoalah kamu kepada Allah SWT lantaran amal salehmu itu!”

Kemudian salah satu di antara mereka ada yang memulai berdoa,
“Ya Allah, dulu aku mempunyai dua orang tua yang sangat uzur, seorang istri dan dua orang anak laki-laki. Akulah yang telah merawat mereka. Ketika aku mempunyai waktu senggang, dan lalu aku mulai memberi minum kepada kedua orang tuaku sebelum anakku, padahal aku menggembalakan di tempat yang sangat jauh sehingga aku baru pulang di malam hari, dimana pada saat itu kedua orang tuaku telah tertidur pulas. Karena beliau berdua telah tertidur, aku pun lalu kembali memeras susu sebagaimana biasa dan sesudahnya aku pun datang lagi kepada beliau berdua dan menungguinya sambil berdiri di dekatnya karena takut beliau berdua terbangun dan aku tidak mau memberikan susu itu kepada anak-anakku sebelum beliau berdua meminumnya. Padahal anak-anakku merengek di bawah kakiku dan kau tetap bersikeras membiarkan anak-anakku yang selalu menangis, hingga menjelang fajar.
Jika Engkau menganggap bahwa semua yang kulakukan itu sekedar untuk mencari keridhaan-Mu, aku mohon agar Engkau berkenan menggeser sedikit batu besar itu sehingga aku dapat melihat langit!”
Setelah berhenti dari berdoa, Allah menggeser sedikit batu yang menutup pintu gua tersebut.

Orang kedua lalu berdoa, “Ya Allah, dulu pamanku mempunyai seorang anak wanita yang cantik dan aku telah jatuh cinta kepadanya, melebihi kecintaan laki-laki lain kepada gadis pujaannya. Pada suatu saat aku meminta agar mau menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadaku, akan tetapi dia menolaknya, kecuali jika aku dapat memberinya uang seratus dinar. Karena kekasihku yang memintanya, dengan sekuat tenaga aku lalu mengusahakan uang sebanyak itu dan kemudian aku berikan kepadanya. Saat aku hendak menindih di atas kedua kakinya (menyetubuhinya) tiba-tiba ia berkata, “Wahai hamba Allah, takutlah kamu kepada Allah dan janganlah kamu merusak kehormatanku, kecuali dengan haq (nikah)!” Karena peringatannya itu aku pun lalu pergi meninggalkannya.
Sekiranya Engkau menganggap bahwa yang kulakukan itu semata-mata sekedar mencari keridhaan-Mu, maka sudilah Engkau menggeser batu itu barang sedikit sehingga aku dapat melihat langit agak luas lagi.

Orang ketiga lalu berdoa, “Ya Allah, dulu aku pernah mempunyai seorang pekerja. Ketika dia telah menyelesaikan pekerjaannya dia lalu berkata, ‘Berikanlah hakku sekarang juga!’ Aku lalu memberikan beberapa alasan kepadanya, kemudian aku pun pergi meninggalkannya, selain itu juga aku merasa benci kepadanya. Dari hasil kerja orang itu lalu aku gunakan sebagai modal untuk bekerja sehingga hartaku semakin menjadi banyak. Setelah aku rasa harta itu cukup, aku belikan seekor lembu beserta penggembalanya.
Setelah selang beberapa lama dia datang lagi kepadaku seraya berkata, “Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah engkau menganiaya hakku!”
Mendengar ucapannya itu aku lalu berkata, “Berangkatlah dan ambillah itu semua beserta penggembalanya sekaligus!”
“Takutlah kamu kepada Allah dan kamu jangan menghinaku!” kata orang itu kepadaku.
“Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu. Ambil saja lembu itu beserta penggembalanya!” jawabku.
Akhirnya orang itu pun mau membawa pulang lembu berikut penggembalanya.
Jika Engkau menganggap bahwa yang kulakukan itu hanya semata-mata mencari keridhaan-Mu, hendaklah Engkau berkenan untuk menggeser lagi batu itu!” Dan Allah pun kemudian menggeser batu itu agak luas lagi.

- HR Bukhari

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Kaum Salah Seorang Nabi as

Sa’id bin Sinan Al Himshi berkata; Alah SWT pernah memberi wahyu kepada salah seorang nabi-Nya, “Sesungguhnya azab Allah akan menimpa kaummu.”

Kemudian sang Nabi memberitahukan kepada kaumnya tentang hal tersebut dan sekaligus memerintahkan agar mereka mengajak keluar orang-orang terhormat untuk bertaubat bersama-sama.

Mereka pun akhirnya meninggalkan rumah masing-masing, dan sang Nabi memerintahkan agar ada tiga orang di antara orang-orang terhormat tersebut menjadi wakil mereka untuk berdoa kepada Allah SWT. Dan berangkatlah rombongan tersebut dengan dipimpin oleh ketiga delegasinya.

Sesampainya di tempat tujuan, salah seorang dari ketiga delegasi terhormat itu ada yang memulai untuk berdoa, “Ya Allah, dalam kitab Taurat yang telah Engkau turunkan pada hamba-Mu Musa, Engkau telah memerintahkan kepada kami agar tidak menolak orang yang meminta-minta ketika mereka telah berdiri di depan pintu rumah-rumah kami. Sekarang kami termasuk di antara sekian banyak orang yang mohon kepada-Mu yang telah siap berdiri di depan pintu-pintu-Mu. Oleh karenanya, hendaklah Engkau tidak menolak orang yang memohon kepada-Mu!”

Wakil kedua kemudian berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kepada kami dalam kitab Taurat yang telah Engkau turunkan kepada hamba-Mu Musa agar kami senantiasa memberikan ampunan kepada siapapun yang menganiaya diri kami. Sekarang kami telah menganiaya diri sendiri, maka ampunilah kami atas kesalahan kami.”

Lalu tiba giliran wakil ketiga yang berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kepada kami dalam kitab Taurat yang telah Engkau turunkan kepada hamba-Mu Musa dan telah memerintahkan kepada kami agar senantiasa memerdekakan budak belian. Kami adalah hamba dan abdi-Mu, maka merdekakanlah hamba-hamba-Mu ini!”

Akhirnya Allah pun memberikan wahyu kepada Nabi-Nya yang intinya, bahwa Allah telah menerima taubat mereka dan juga telah mengampuni dosanya.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Kaum Nabi Yunus as

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ketika Nabi Yunus as merasa berputus asa atas iman kaumnya, berdoalah beliau kepada Tuhan, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah membangkang dan mereka hanya melakukan kekafiran. Oleh sebab itu, turunkanlah siksa-Mu kepada mereka!”

Allah SWT pun kemudian menurunkan wahyu kepada beliau, “Sesungguhnya Aku akan menurunkan azab kepada mereka.”

Kemudian keluarlah Nabi Yunus as kepada kaumnya dan memberikan ancaman kepada mereka, bahwa tiga hari lagi akan turun azab Allah. Beliau kemudian meninggalkan wilayah tersebut bersama istri dan kedua putranya yang masih kecil. Beliau berjalan terus sampai akhirnya pada sebuah bukit. Lalu mendakinya sambil mengarahkan pandangan kepada penduduk Ninawa (sebuah kota yangterletak di sebelah barat laut wilayah Irak) dan menanti datangnya azab Allah.

Dan Allah pun kemudian mengutus malaikat Jibril as dengan firman-Nya, “Pergilah kamu kepada malaikat Malik si penjaga neraka dan katakan kepadanya agar mengeluarkan angin panas neraka Jahannam sebesar biji jelai, lalu perintahkan kepadanya agar dia membawa dan menebarkannya di kota Ninawa dan menanti datangnya azab Allah.”

Maka berangkatlah malaikat Jibril menemui malaikat Malik dan segera pula menyampaikan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya itu. Pada akhirnya kaum Nabi Yunus as pun merasakan siksaan ketika azab itu benar-benar diturunkan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan oleh Nabi Yunus as kepada mereka.

Abu Al Jalad berkata, Ketika siksa itu telah diturunkan kepada kaum Nabi Yunus as, kepala mereka pusing dan pandangannya seketika menjadi gelap.

Ibnu Abbas berkata, Mereka merasa yakin bahwa siksaan Allah pastilah segera ditimpakan atas mereka, barulah mereka menyadari sebenarnya Nabi Yunus telah berkata benar kepada mereka. Akhirnya mereka pun pergi mencari beliau kesana kemari, akan tetapi tiada kunjung menemukan beliau. Karena gagal menemukan Nabi Yunus as, mereka sepakat untuk bersama-sama menghadap Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Akhirnya mereka pergi menuju ke sebuah tempat yang bernama ‘anak bukit debu’ dan ‘anak bukit taubat’.
Dinamakan dengan ‘anak bukit debu’ karena kaum laki-laki, wanita dan para hamab sahaya semuanya telah meninggalkan perkampungannya dengan membawa hewan ternak dan piaraannya. Mereka pisahkan antara ibu yang sedang menyusui dan anaknya, hewan ternak dan anak-anaknya, sedang kepala mereka ditaburi debu dan di bawah telapak kaki diletakkan duri. Ada yang mengenakan pakaian tenun kasar, ada pula yang mengenakan pakaian wool. Mereka kemudian memohon pertolongan kepada Allah diiringi jerit tangis memilukan sambil tetap berdoa. Karenanya, Allah SWT Maha Mengetahui akan kebenaran ucapan mereka.

Para malaikat lalu berkata, “Wahai Tuhanku, rahmat-Mu telah mencakup segala sesuatu. Mereka anak cucu Adam yang dewasa telah Engkau siksa. Lalau bagaimana mereka yang masih kecil dan hewan ternaknya?”

Mendengar keluhan para malaikat ini Allah SWT berfirman, “Wahai Jibril, hilangkan siksa itu dari mereka, sekarang Aku telah menerima taubat mereka.”

Allah SWT berfirman, “Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Nabi Yunus? Tatkala mereka (kaum Nabi Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai pada waktu yang tertentu.” (QS Yunus: 98)

Diriwayatkan dari Abu Jalad; Ketika siksa Allah telah ditimpakan kepada kaum Nabi Yunus, kepala mereka pun menjadi pening dan penglihatannya gelap. Mereka yang masih berpikiran sehat lalu pergi menemui salah satu ulama yang masih hidup kala itu. Mereka berkata, “Kepada kami telah turun suatu azab sebagaimana yang engkau lihat sendiri. Oleh karena itu, ajarilah kami sebuah doa. Semoga dengan doa itu Allah SWT berkenan menghilangkan siksa-Nya kepada kami.”

“Baca saja doa ini, ‘Wahai Dzat yang selalu hidup yang tidak akan mati. Wahai Dzat Yang Hidup yang menghidupkan orang-orang yang telah mati. Wahai Dzat Yang Hidup yang tiada Tuhan selain Engkau” Dan akhirnya Allah menghilangkan azab itu dari mereka. (HR Ahmad)

Diriwayatkan dari Al Hasan; Ketika Nabi Yunus as telah diselamatkan oleh Allah SWT dari perut ikan paus, beliau kembali pulang dan di tengah-tengah perjalanan bertemulah beliau dengan salah seorang kaumnya yang sedang menggembala kambing. Nabi Yunus as lalu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau wahai hamba Allah?”
“Saya adalah salah seorang dari kaum Nabi Yunus bin Matta,” jawab penggembala itu.
“Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh Yunus?” tanya beliau kepada si penggembala kambing itu.
“Saya tidak tahu bagaimana keadaan beliau sekarang. Yang saya tahu, beliau adalah orang terbaik dan paling jujur. Beliau telah memberitahu kepada kami akan datangnya siksa Allah, dan ternyata siksa itu terjadi sebagaimana ucapan beliau. Kami pun kemudian bertaubat kepada Allah dan diterima-Nya. Sekarang kami sedang mencari beliau, namun belum juga menemukannya. Kami kehilangan jejak beliau dan tidak pernah mendengar beritanya sama sekali,” kata si penggembala itu.
“Apakah kamu mempunyai susu?” tanya Nabi Yunus as kepadanya.
“Tidak, demi Dzat yang telah memberi kemuliaan kepada Yunus, sejak Yunus meninggalkan kami, langit pun enggan menurunkan air hujan dan bumi pun tidak mau menumbuhkan rerumputan,” jawabnya.
“Bukankah kamu telah bersumpah dengan Tuhan Yunus?” tanya beliau.
“Memang, kami tidak pernah bersumpah kecuali hanya kepada Tuhan Yunus. Barangsiapa di negeri kita ini bersumpah kepada selain Tuhan Yunus, niscaya dia akan dirobek mulutnya sampai tengkuknya,” jawab si penggembala.
“Kapan kau mulai melakukan hal itu?” tanya Nabi Yunus.
“Sejak Allah menghilangkan siksa-Nya dari kami,” jawabnya.
“Berilah aku seekor kambing,” pinta beliau.

Nabi Yunus as pun diberi seekor induk kambing yang telah menyapih anaknya dan oleh beliau diusap-usapnya perut kambing itu seraya berkata “Keluarlah air susumu atas ijin Allah!” Sesaat kemudian air susu kambing itu lalu keluar dengan derasnya, beliau pun memerasnya hingga cukup untuk diminum mereka berdua. Setelah menghabiskan minumannya, si penggembala kambing itu berkata, “Bila Yunus itu masih hidup, niscaya engkaulah orangnya.”

“Akulah sebenarnya Yunus itu. Sekarang kembalilah kepada kaummu dan tolong sampaikan salamku kepada mereka,” pinta Nabi Yunus as.

Sesungguhnya seorang raja telah berkata, “Barangsiapa datang kepadaku dan memberitahukan bahwa dirinya telah melihat Yunus yang disertai dengan bukti-bukti, maka aku akan meletakkan jabatanku sebagai raja dan akan kuberikan kedudukanku itu kepadanya.” Aku sekarang telah bertemu dengan Yunus, akan tetapi aku tidak berani menyampaikan berita ini kepadanya tanpa bukti yang jelas, karena aku khawatir jika dikatakan kepadaku, ‘Kamu berkata demikian, barangkali hanya ingin diangkat menjadi raja dan karenanya kamu pun berani berdusta.’ Padahal saat ini barangsiapa berkata dusta, pasti akan dibunuh, sedangkan Anda (Nabi Yunus as) adalah orang terhormat di mata mereka. Sekarang Anda hendak menyuruhku datang menemui mereka dengan membawa kebohongan yang akhirnya dirikulah yang dihukum mati, “ jawab si penggembala kambing.

“Kambing yang kamu minum air susunya inilah yang menjadi saksimu,” kata beliau.
Saat beliau berkata demikian itu, Nabi Yunus as sedang bersandar pada sebuah batu besar, dan pada batu tersebut beliau berkata, “Saya minta supaya kamu ikut menjadi saksinya.”

Ibnu Sam’an berkata; Nabi Yunus as berkata kepada sang penggembala kambing, “Berangkatlah kamu kepada kaummu dan tolong sampaikanlah salamku kepadanya juga beritahukan kepada mereka bahwa dirimu telah bertemu denganku.”

Si penggembala kambing itu pun pulang dan memberitahukan kepada kaumnya tentang pertemuannya dengan Nabi Yunus as tetapi tiada yang mempercayai kata-katanya. Saat batu besar dan kambing miliknya menyampaikan kesaksiannya, menangislah mereka atas cerita tentang Nabi Yunus as yang telah disampaikannya tadi. Namun sayangnya, mereka tidak menyaksikannya sendiri. Kepada si penggembala kambing mereka berkata, “Apabila kamu benar-benar telah bertemu dengan Nabi Yunus as, sesungguhnya kamulah orang yang akan kami pilih sebagai pemimpin kami!”

Setelah berkata demikian, mereka lalu melantik si penggembala kambing itu sebagai raja mereka, seraya berkata, “Di kalangan kita ini tidak ada seorang pun yang berkedudukan lebih tinggi darimu. Setelah engkau bertemu dengan Yunus utusan Allah, sedikit pun kami tidak akan berani membantah apa yang menjadi perintahmu.”

Inilah akhir masa kehidupan Nabi Yunus as dan perawi hadis ini mengatakan bahwa sang penggembala kambing akhirnya menjadi raja mereka dan berkuasa selama 40 tahun.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Kaum Nabi Musa as

Diriwayatkan dari Hasan, Nabi Musa as suatu ketika pernah menghadap kepada Tuhannya, Allah SWT guna memohon agar Dia berkenan menerima taubat kaumnya karena menyembah anak sapi. Allah SWT lalu berfirman, “Wahai Musa, mereka ini tidak akan diterima taubatnya kecuali jika mereka mau membunuh dirinya sendiri.”

Karena telah mendapatkan wahyu dari Allah demikian itu, Nabi Musa pun kembali menemui kaumnya seraya berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya Allah menolak taubat kalian, kecuali jika kalian semua mau membunuh dirinya sendiri. Hanya itulah cara taubat kalian. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhanmu.”
(QS Al Baqarah: 54)

“Hai Musa, sebenarnya kami telah bersabar atas perintah Allah SWT dan semua orang pun telah menyesali segala perbuatan yang pernah mereka lakukan,” jawab kaumnya.

Nabi Musa as kemudian mengikat janji kepada mereka yang intinya agar tetap bersabar, untuk bunuh diri dan menerima putusan tersebut. Mereka setuju dan serentak menjawab, “Ya.”

Keesokan hari mereka telah bersiap menghancurkan rumah masing-masing, masing-masing keluarga berada di kelompoknya. Setelah semuanya siap, Nabi Musa as kemudian memerintahkan kepada orang-orang yang tidak pernah menyembah anak sapi dari kalangan Bani Israil agar masing-masing dari mereka mengambil pedangnya dan siap menebas siapapun yang mereka temui. Akhirnya mereka berangkat dalam suatu kekuatan penuh dan berkata, “Allah akan mengasihi kepada siapapun yang tidak meninggalkan tempat duduknya. Tidak mengangkat pandangan matanya, tidak mencegah melalui tangan dan kakinya dan enggan berdiri dari tempatnya, sehingga Allah memberikan hukuman-Nya.”

Mereka pun akhirnya membunuh siapa saja, sehingga seorang laki-laki dari Bani Israil mendatangi kaumnya pada saat mereka sedang duduk di halaman rumahnya masing-masing, dengan mengatakan kepada mereka, “Orang-orang (yang datang) ini adalah saudara kalian sendiri. Mereka ini datang sambil menghunus pedangnya masing-maisng. Maka, takutlah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya laknat Allah dan malaikat-Nya ada pada orang yang telah berdiri meninggalkan tempat duduknya, membuka pandangan matanya atau yang mempertahankan diri dengan tangan dan kakinya.” Mereka lalu menjawab, “Amiin.”

Dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas; ketika kaum Nabi Musa as telah diperintahkan agar satu sama lain saling membunuh, maka mereka berkata, “Wahai Rasul Allah, bagaimana mungkin kami akan membunuh orang tua, anak dan saudara kami sendiri?”

Rasul saw bersabda, “Allah kemudian menurunkan cuaca gelap kepada mereka, sehingga mereka tidak dapat melihat satu sama lain dan akhirnya mereka pun saling membunuh.
Mereka kemudian berkata, “Wahai Musa, apakah tanda-tanda daripada taubat kami?”
“Jika semua pedang dan senjata telah ditegakkan dan kegelapan sudah sirna, janganlah kalian membunuh!” jawab Nabi Musa.

Terjadilah saling membunuh di antara mereka, bahkan darah yang ditumpahkan membasahi kain jubah, dan kemudian mereka pun seperti berenang dalam darah yang mengalir itu, menjeritlah anak-anak kecil memanggil Nabi Musa as, “Hai Musa, ampunilah kami!” Akhirnya Nabi Musa as pun menangis mengadu kepada Allah SWT dan Allah berkenan menurunkan rahmat-Nya pula dan diangkatlah pedang yang ada. Nabi Musa as pun berseru kepada mereka, “Singkirkan pedang kalian dari saudara-saudara kalian sendiri, karena sesungguhnya rahmat Allah telah turun dan kegelapan pun telah disirnakan dan usailah pembunuhan itu!”

Akhirnya mereka yang terbunuh itu termasuk mati syahid dan mereka yang masih hidup, telah diampuni dosanya.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Raja Kan’an

Diriwayatkan dari Ibnu Sam’an dari sebagian pakar, bahwa yang dimaksudkan dengan Dzulkifli disini tidak lain adalah Ilyasa’ bin Khatub yang hidup semasa Ilyas, bukan Ilyasa’ sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an. Ilyasa’ atau Dzulkifli ini adalah orang yang hidup sebelum Nabi Daud as.

Caritanya bermula dari sebuah wilayah kerajaan dengan rajanya yang otoriter terhadap rakyatnya, dialah Kan’an. Pada zamannya dia tidak mampu mempertahankan dirinya karena kezaliman dan kelacurannya.

Di wilayah kerajaan Kan’an itu hiduplah seorang yang tekun menyembah Allah secara rahasia dan dia tidak pernah menampakkan imannya. Dia adalah Dzulkifli.

Suatu hari seseorang melapor kepada sang raja. “Wahai baginda Raja, sesungguhnya di dalam wilayah kekuasaan tuan ini ada seorang laki-laki yang menentang aturan tuan dengan mengajak orang lain untuk tidak menyembah baginda Raja.” Mendengar laporan tersebut, maka diutuslah oleh raja seorang untuk menangkapnya, bahkan sang raja sendiri yang hendak membunuhnya. Tidak lama kemudian Dzulkifli pun ditangkap dan dihadapkan kepada sang raja.
“Benarkan yang aku dengar, bahwa engkau menyembah Tuhan selain aku?” tanya sang Raja kepada Dzulkifli.

“Dengan dulu penjelasan hamba, pahami dan janganlah tuan terburu naik darah, karena sesungguhnya kemarahan itu akan menghalangi pada suatu kebenaran, juga menjerumuskan kepada kejahatan. Bagi seorang penguasa seperti Anda, sebenarnya tidak perlu marah, sebab bagaimanapun Anda berhak dan mampu melakukan apa saja yang Anda kehendaki,” jawab Dzulkifli.

“Jelaskanlah!” perintah sang raja.

Dzulkifli mulai membuka pembicaraannya dengan menyebut Asma Allah dan membaca hamdalah yang dilanjutkan dengan perkataannya, “Adakah tuan ini yakin, bahwa tuan adalah tuhan, menjadi tuhan bagi semua rakyat tuan ataupun bagi semua makhluk? Jika benar demikian, tuan adalah tuhan bagi semua rakyat tuan sendiri. Karenanya, perlu tuan ketahui, bahwa sesungguhnya tuan mempunyai sekutu terhadap sesuatu yang tidak tuan miliki. Akan tetapi, jika tuan adalah tuhan bagi semua makhluk, sekarang siapa sebenarnya Tuhan tuan?”

“Bedebah! Siapa Tuhanku?” tanya sang raja.

“Tuhan tuan adalah juga Tuhan langit dan bumi, Dia-lah yang telah menciptakan keduanya, juga Pencipta matahari, bulan dan bintang gemintang. Oleh karena itu, takutlah tuan kepada Allah dan juga pada siksa-Nya! Jika tuan mau menyembah dan mengesakan-Nya, hamba yakin bahwa tuan akan mendapatkan pahala dan kekal di sisi-Nya,” jawab Dzulkifli.

“Tolong ceritakan kepadaku tentang orang yang menyembah Tuhanmu dan apa balasannya?” pinta sang raja.
“Surga, bila dia telah meninggal,” kata Dzulkifli.
“Apakah surga itu?” tanya sang raja.
“Adalah suatu tempat yang telah diciptakan oleh Allah SWT sendiri yang dipersiapkannya sebagai tempat tinggal bagi para kekasih-Nya. Para kekasih-Nya itu kelak pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan belia dengan usia mereka yang sekitar 30 tahun. Mereka itu semua akan masuk surga yang penuh dengan kenikmatan, suka cita, dan mereka akan kekal abadi di dalamnya. Mereka tetap selalu muda dan tidak pernah tua. Mereka bermukim di sana dan tidak akan keluar, hidup untuk selama-lamanya, tak pernah mati,” kata Dzulkifli.

“Lalu, apa balasan bagi orang yang tidak mau menyembah dan mendurhakai-Nya pula?” tanya sang raja kembali.
“Neraka, mereka ini akan dikumpulkan bersama-sama dengan setan, lalu diikat dengan rantai dan mereka hidup kekal abadi. Mereka akan selalu mendapatkan siksaan dan dalam keadaan hina-dina selama-lamanya. Mereka senantiasa dipukuli oleh malaikat Zabaniyah dengan palu besar yang terbuat dari besi. Makanan mereka adalah buah zaqqum dan duri, sedang minumnya adalah air mendidih,” jawab Dzulkifli.

Mendengar penjelasan Dzulkifli itu, sang raja pun gemetar dan menangislah dia, lalu dia berkata kepada Dzulkifli, “Bila aku beriman kepada Allah, apa yang aku dapatkan?”
“Surga,” jawab Dzulkifli singkat.
“Siapa yang berani menjamin aku?” tanya sang raja.
“Akulah yang akan menjamin tuan. Aku akan menulis sepucuk surat kepada Allah SWT untuk tuan. Jika tuan telah mangkat nanti, tuan akan mendapatkan manfaat dari surat itu, dan Allah akan memenuhi permohonan tuan, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Kuasa dan Maha Menang, Allah akan memenuhi janji-Nya dan akan memberikan tambahan kepada tuan,” jawab Dzulkifli.

Sang raja itu akhirnya berpikir sejenak, dan karena Allah telah menghendaki kebaikan atas diri raja itu, maka ia pun berkata, “Tulislah sepucuk surat untukku kepada Allah!” perintahnya.

Dzulkifli kemudian menulis sepucuk surat yang isinya Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini adalah sebuah surat yang ditulis oleh si Fulan yang menjamin atas nama Allah SWT untuk Raja Kan’an karena adanya rasa kepercayaan dari dirinya terhadap Allah SWT. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan. Untuk Kan’an atas Allah SWT dengan jaminan si Fulan. Bila dia telah bertaubat kembali dan mau beribadat kepada Allah SWT, semoga Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga serta memberikan tempat di sana sesuai dengan kehendak-Nya. Semoga dia diberi segala sesuatu sebagaimana yang telah Dia berikan kepada para kekasih-Nya dan semoga Dia berkenan menyelamatkannya dari siksa-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengasih kepada semua orang yang beriman. Yang Maha Luas kasih sayang-Nya dan rahmat-Nya telah melampaui kemurkaan-Nya.”

Setelah dianggap cukup maka Dzulkifli menandatangani suratnya dan kemudian diserahkan kepada raja Kan’an. Saat menerima surat tersebut, raja Kan’an berkata, “Beritahukanlah bagaimana semestinya aku bertaubat?”

“Bangkitlah dan mandilah, lalu kenakanlah pakaian tuan yang baru-baru,” jawab Dzulkifli.
Raja Kan’an pun melakukan semua saran Dzulkifli, sesudah itu barulah Dzulkifli memerintahkannya untuk membaca kalimah syahadat serta membebaskan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Segala sesuatu pun berjalan lancar. Kan’an kemudian berkata kepada Dzulkifli, “Bagaimana cara untuk menyembah Tuhanku?”

Dzulkifli lalu mengajarinya syariat Islam dan juga tatacara shalat. Sang raja berkata, “Wahai Dzulkifli, saya mohon agar kamu merahasiakan masalah ini dan jangan membocorkannya, sehingga aku sampai di suatu padang rumput nanti!”

Setelah berkata demikian, Kan’an meletakkan jabatannya sebagai raja dan ia pun kemudian menyelinap meninggalkan istana secara diam-diam, hingga sampailah dia di suatu padang rumput dan meneteslah air matanya.

Para punggawa kerajaan pun sibuk mencarinya ke sana kemari dan setelah mereka gagal menemukan rajanya, maka mereka berkata, “Cari Dzulkifli! Karena dialah yang telah membujuk tuhan kita.”

Kemudian berangkatlah sekelompok orang untuk mencari rajanya dan Dzulkifli sekaligus. Setelah mereka melakukan perjalanan sekitar satu bulan lamanya, akhirnya merekapun berhasil menemukan kembali rajanya. Saat menyaksikan rajanya sedang berdiri menunaikan shalat, mereka pun segera bersujud kepadanya. Mengetahui hal ini, Kan’an lantas berpaling kepada mereka seraya berkata, “Bersujudlah kalian kepada Allah dan jangan sekali-kali kalian bersujud kepada seorang pun dari makhluk ini. Ketahuilah, sesungguhnya aku telah beriman kepada Sang Pencipta langit, bumi, matahari dan bulan ini.” Kan’an kemudian memberikan nasihat dan sekaligus peringatan kepada mereka.

Selang beberapa hari kan’an pun terserang suatu penyakit hingga ajal menjemputnya. Sebelum ajal menjelang, dia sempat berkata kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian meninggalkanku, karena inilah saat-saat terakhir hidup di dunia. Bila aku tiada nanti, makamkanlah aku!”

Setelah berkata demikian, Kan’an mengeluarkan suratnya dan membacanya di hadapan para sahabat sehingga mereka hafal betul dan memahami isinya. Kan’an berkata kepada mereka, “Ini adalah sepucuk surat yang ditulis untukku kepada Tuhanku, Allah SWT. Dengan harapan semoga aku dapat mengambil manfaat dari isi surat ini. Oleh karenanya, sertakan pula surat ini bersamaku di liang lahat nanti.”
Ketika Kan’an telah meninggal dunia, mereka pun mengurusnya dan meletakkan surat tersebut di atas dadanya dan memakamkannya.

Setelah Kan’an dikebumikan, Allah SWT lalu mengutus seorang malaikat agar datang kepada Dzulkifli seraya berkata, “Wahai Dzulkifli, sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada Kan’an atas jaminanmu dan inilah surat yang dulu kamu tulis untuknya. Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman, ‘Demikianlah Aku telah berbuat kepada orang yang ahli taat kepada-Ku.’”

Pada saat yang sama, datang pula sekelompok orang kepada Dzulkifli dan menangkapnya seraya berkata, “Engkaulah yang telah membunuh dan merayu raja kami!”

“Aku tidak pernah merayu dan menipunya, akan tetapi aku mengajaknya menyembah Allah, serta aku menjaminnya surga. Dan raja kalian telah tiada, teman-teman kalian pun telah mengebumikannya. Inilah surat yang dulu kutulis untuknya kepada Allah SWT guna memenuhi permintaannya, dan sekarang Allah telah memenuhi haknya. Surat ini telah menjadi saksi atas apa yang telah kuucapkan kepada kalian. Tunggulah sebentar di sini sampai sahabat kalian kemari!”

Akhirnya, orang-orang itu menahan Dzulkifli sampai para sahabat mereka datang. Mereka pun bertanya kepada para sahabat yang baru tiba itu tentang raja mereka. Para sahabatnya lalu menceritakan semua kisah yang telah dialaminya. Orang-orang itu kemudian bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian mengerti perihal sepucuk surat yang telah kalian kubur bersama sang raja?”
“Ya, kami semua mengetahuinya,” jawab mereka.

Mereka kemudian mengeluarkan dan memperlihatkan surat itu serta membacakannya. Para sahabat yang baru datang itu pun berkata, “Itukah sepucuk surat yang dulu kami sertakan bersama jasad raja Kan’an. Pada hari dan jam sekian kami telah memakamkan beliau, surat ini pun kami sertakan.”

Pada saat itu orang-orang yang menahan Dzulkifli mulai berpikir dan menerka-nerka, tiba-tiba Dzulkifli membacakan isi surat tersebut dan memberitahukan tentang kematian raja mereka, bertepatan dengan saat wafatnya raja. Akhirnya mereka semua beriman dan mengikuti ajarannya, sehingga pada saat itu jumlah kaum yang beriman mencapai 124.000, dan Dzulkifli pun membuat jaminan kepada mereka sebagaimana jaminan yang telah dibuatnya bagi raja mereka terhadap Allah SWT. Karena kemurahan untuk memberikan jaminan kepada sesama manusia, dia pun mendapat gelar Dzulkifli (orang yang suka memberikan jaminan) – dimana nama aslinya adalah Ilyasa’.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Sunday, April 8, 2012

Kisah Pertaubatan Seorang Raja Lainnya

Diriwayatkan dari Bakr bin Abdullah al Muzani, ia berkata, Dahulu hidup seorang raja yang sangat antipati kepada Allah SWT, dia pun diperangi oleh orang-orang Islam dan berhasil pula ditangkap.
Mereka lantas berkata, “Dengan apa kita harus membunuhnya?”

Mereka pun sepakat untuk memasukkannya ke dalam sebuab bejana besar yang dipanaskan di atas perapian. Mereka tidak membunuhnya begitu saja, sebelum menyiksanya terlebih dahulu di atas perapian. Mereka pun melaksanakan hukuman tersebut.

Sang raja pun memanjatkan doa kepada tuhan-tuhannya, “Hai Fulan, bagaimana dulu aku menyembahmu, menghormatimu dan mengusap-usap mukamu. Sekarang selamatkanlah aku dari keadaan yang sekarang ini!”

Ketika menyadari bahwa mereka (tuhan-tuhannya) tidak ada yang dapat menolongnya, seketika itu ditengadahkanlah kepalanya ke langit seraya berdoa, “Tiada Tuhan selain Allah,” dan ia terus berdoa dengan penuh keikhlasan. Akhirnya Allah berkenan menurunkan hujan dari langit sehingga dapat memadamkan api tadi dan datanglah juga angin ribut yang menerbangkan bejana raksasa itu berputar-putar di udara. Raja itu terus berdzikir, “Tiada Tuhan selain Allah.”

Dan sambil mengucapkan kalimat, “Tiada Tuhan selain Allah,” sang raja itu dilemparkan oleh Allah SWT ke tengah-tengah suatu kaum yang tidak menyembah Allah SWT. Tetapi, raja tersebut diusir oleh mereka dan mencacinya pula, “Aduh! Untuk apa kamu datang kemari?”

Sang raja itu menjawab, “Aku adalah raja dari bani Fulan,” selanjutnya dikisahkannya pula perjalanan hidupnya hingga akhirnya mereka pun ikut beriman.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Sang Laki-Laki Penyembah Berhala

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dahulu kala di kalangan Bani Israil ada seorang ahli ibadat yang dikagumi oleh kaumnya. Suatu hari mereka menceritakan perihal perilakunya keapda Nabinya dan memujinya. Nabi itu pun berkata, “Demikianlah dia sebagaimana kalian ketahui, namun dia enggan menjalankan suatu sunnah.”

Apa yang dikatakan oleh Nabi ini akhirnya sampai kepada si ahli ibadat, dia pun berkata, “Jika memang demikian, bagaimana aku mendidik diriku sendiri?”

Si ahli ibadat itu kemudian berangkat menuju rumah sang Nabi yang pada saat itu dikelilingi oleh beberapa sahabatnya, sedang Nabi sendiri tidak mengenali lagi wajah si ahli ibadat itu. Laki-laki itu pun memberikan salam dan berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah mendengar bahwa namaku sering disebut-sebut, namun disayangkan enggan menjalankan sunnah. Bila demikian realitanya, mengapa aku mesti menyusahkan diri sendiri sepanjang siang dan malam dengan meninggalkan keramaian orang (untuk beribadat)? Semua itu kulakukan untuk melakukan sunnah (ajaran) Tuhanku, Allah SWT.”

“Engkaukah ini si Fulan itu?” kata sang Nabi.
“Ya,” jawabnya.
“Demi Allah, sebenarnya tidak ada sesuatu yang engkau ada-adakan dalam agama Islam ini, hanya saja engkau tidak mau menikah,” kata sang Nabi.
“Tidak ada yang lain?” tanya orang itu.
“Tidak,” jawab Nabi.

Setelah sang Nabi mengetahui jika orang itu merasa terhina, Nabi pun berkata, “Bukankah engkau tahu jika semua orang telah melakukan sebagaimana yang engkau lakukan. Lalu apa yang didapatkan seseorang yang takut pada musuh orang-orang Islam, dan apa yang didapatkan seorang yang dizalimi dari orang-orang yang menzalimi?”
Nabi lalu menyebutkan tentang shalat.

“Benar Anda wahai Nabi Allah! Sebenarnya aku tidak mengharamkan diriku untuk menikah, akan tetapi aku takut menikah dengan seorang wanita Muslimat karena aku ini orang miskin dan khawatir justru akan menyia-nyiakannya. Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kuberikan sebagai nafkah, sedang orang-orang kaya tidak mau menikahkan diriku,” katanya kepada Nabi.

“Apakah itu saja yang menjadi beban pikiranmu?” tanya Nabi kepadanya.
“Saya kira hanya itu saja,” jawabnya.
“Apabila itu kendalamu, sekarang aku akan menikahkanmu dengan putriku,” kata sang Nabi.
“Benarkah engaku melakukannya?” kata si ahli ibadah itu.
Sang Nabi pun menikahkannya dengan putri beliau, dan beberapa waktu kemudian lahirlah putra pertama mereka.

Demi Allah, di kalangan kaum Bani Israil tidak seorang bayi pun terlahir laki-laki yang membuat mereka gembira sebagaimana halnya kelahiran putra si ahli ibadah itu. Begitu meluapnya kegembiraan yang mereka rasakan hingga mengatakan, “Inilah keturunan Nabi kita dan anak ahli ibadah kita, kita sangat mengharapkan agar dia dapat tumbuh dewasa sebagaimana layaknya tokoh lain.”

Setelah menginjak dewasa, ia memutuskan untuk menyembah berhala dan segenap penduduk pun mengikutinya, bahkan jumlah para penyembah berhala semakin banyak. Pada suatu kesempatan dimana telah berkumpul para anggota penyembah berhala, berkata pemuda itu, “Sebenarnya keberadaan kita lebih dominan, lalu bagaimana dengan kelompok minoritas yang selalu memaksakan suatu aturan kepada kita semua ini?”

“Karena mereka mempunyai seorang pemimpin yang mengkoordinasi segala aktivitas mereka, sedangkan kita ini tidak mempunyai pemimpin,” jawab mereka.
“Hanya itukah faktor penyebabnya?” tanya sang pemuda itu.
“Ya,” jawab mereka.
“Jika hanya itu, akulah yang akan menjadi pemimpin kalian,” katanya.
“Benarkah hal itu hendak engkau lakukan?” tanya mereka.
“Ya,” jawab si pemuda.

Setelah ada kesepakatan demikian, keluarlah dia bersama para pengikutnya, dan berita kepergian mereka itu sampailah kepada sang Nabi, juga sampai pada ayah si pemuda. Melihat adanya gejala yang tidak baik itu, kaum Bani Israil dan juga ayah pemuda ini berkumpul di rumah Nabi. Setelah mengadakan pembicaraan secukupnya, Nabi pun mengutus seseorang untuk menemui pemuda itu dan mengingatkannya agar kembali kepada Allah dan agama Islam, tetapi ajakan tersebut ditolak oleh si pemuda beserta kelompoknya.

Karena si pemuda itu enggan kembali kepada Islam, akhirnya Nabi dan ayah pemuda itu keluar dengan membawa balatentara secukupnya. Demikianlah, sehingga saling berhadapan anak dengan orang tua dan Nabi di medan pertempuran. Pertumpahan darah tidak terelakkan lagi, bahkan Nabi maupun ayah sang pemuda gugur dalam pertempuran. Para pengikut Nabi dari kalangan Bani Israil yang tersisa banyak yang melarikan diri. Akan tetapi, si pemuda beserta kelompoknya tetap mengejar mereka dan membunuhnya pula bila tertangkap.

Akhirnya pemuda itu bertemu dengan seorang pendeta dari kaum Bani Israil di sebuah bukit dan ia dudukung oleh banyak orang. Dirinya pun enggan berpisah dengan mereka dan dia menyangka bahwa sang raja tidak berbuat adil kepadanya, hingga hancurlah kaum Bani Israil itu.

Akhirnya pemuda itu berusaha melacak sang raja ke bukit-bukit untuk dibunuhnya dan orang-orang pun mendukungnya. Maka semakin kacaulah kerajaannya.

Ketika para pendeta kaum Bani Israil tahu akan apa yang diperbuatnya atas mereka, para pendeta itu pun berkata, “Tinggalkanlah laki-laki ini berikut kerajaannya, namun dia tidak mau meninggalkan kami! Sungguh, kita kembali mendapatkan amarah Allah. Kita telah meninggalkan Nabi dan seorang ahli ibadah kita sampai mereka berdua terbunuh, sedangkan dia tidak mau meninggalkan kami. Marilah kita sekarang bertaubat kepada Allah SWT. Kita temui laki-laki ini dan kemudian kita bunuh. Kita pun tetap dalam keadaan bertaubat.”

Kaum Bani Israil lalu mengangkat seseorang dari intern kalangan mereka untuk menjadi pemimpin dan dilantiknya sekaligus. Setelah itu, mereka pun bergerak mempersiapkan dirinya, dan siap berkorban serta bertaubat kepada Allah SWT.

Laki-laki yang baru diangkat itu menemui mereka dan akhirnya terjadilah pertempuran sengit mulai pagi hingga menjelang malam hari. Pertempuran itu dilanjutkan pada keesokan hari dan banyak korban berjatuhan pada kedua belah pihak, dan perang ini pun berlangsung hingga malam.

Pada hari ketiga, kaum Bani Israil telah berangkat dini hari dengan meneguhkan hatinya demi Allah. Kemudian mereka pun berperang melawan musuh dengan sekuat tenaga sehingga pecahlah pertempuran yang sangat dahsyat. Salah seorang teman mereka berkata, “Sungguh aku sangat mengharapkan semoga Allah berkenan menerima taubat kita, karena aku telah melihat bahwa kesabaran telah diturunkan kepada kita dan angin segar pun bertiup ke arah kita jika kalian dapat memenangkan pertempuran ini. Jika kalian nanti dapat menangkapnya hidup-hidup, janganlah kalian membunuhnya!”

Mereka kemudian melanjutkan pertempuran hingga hari menjelang malam, tetapi masih belum tampak tanda-tanda siapa pemenangnya. Sementara itu, Allah melihat bahwa kebenaran berada di pihak kaum Bani Israil dan karenanya, Allah pun memberikan pertolongan sehingga pada akhirnya mereka berhasil memporak-porandakan musuh, menumpas dan juga menangkap pemuda itu dibawa menghadap kepada pemimpin mereka.

Seluruh kaum Bani Israil berkumpul di hadapan pemimpin barunya dan berkatalah sang pemimpin itu. “Apa sanksi atas perbuatan seorang laki-laki dari keluarga kita ini yang telah berani membunuh Nabi dan tega pula membunuh ayah kandungnya, serta menjerumuskan kita untuk menyembah berhala. Bahkan kelompok kita pun mereka perangi dan usir hingga ke beberapa daerah?”
“Bakar saja orang itu!” teriak salah seorang pengunjung yang hadir.
“Rajam saja tubuhnya!” sahut yang lain.
“Siksa saja dia!” seru yang lain lagi.

Ketika para hadirin telah menyampaikan pendapatnya, berkatalah sang pemimpin itu, “Inilah saatnya kita menjatuhkan sanksi balasan atas segala tindakannya.”

Mendengar ucapan pemimpinnya, mereka pun berkata, “Engkau lah yang lebih tahu akan hal itu!”
“Aku mempunyai pendapat, sebaiknya dia diikat dan disalibkan secara hidup-hidup dan tidak pula memberinya makan maupun minum. Kita biarkan dia disana hingga meninggal,” demikian kata sang pemimpin.
“Terserah apa yang hendak Anda lakukan atas dirinya!” timpal mereka.

Akhirnya putra si ahli ibadat itu disalib hidup-hidup dan dikawal oleh seorang penjaga.

Pemuda itu berada dalam tiang penyaliban sudah tiga hari lamanya. Ketika menjelang sore dan dia merasa bahwa ajalnya segera tiba, berdoalah dia kepada tuhannya, tuhan selain Allah SWT.

Dalam doa diawalinya dengan menyebut dari tuhan yang dianggapnya sebagai tuhan yang termulia, tetapi bila tuhannya tidak mau menjawabnya, ditinggalkanlah tuhannya itu dan kemudian beralih menyebut-nyebut tuhannya yang lain. Akan tetapi, tuhan-tuhan yang telah dipanggilnya tidak satu pun yang menjawab panggilannya. Hal semacam ini dilakukannya di tengah malam.

Karena semua tuhan yang diserunya tidak ada satu pun yang menjawab, dia pun berkata, “Ya Allah, Tuhan nenek dan ayahku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku telah berusaha berdoa kepada semua tuhan yang dulu pernah kusembah selain Engkau. Jika mereka ini mempunyai kebajikan, niscaya mereka akan menjawabnya. Oleh karena itu, ampuni dan selamatkanlah aku dari keadaan seperti sekarang ini!”

Seusai berdoa, tiba-tiba tali pengikatnya terlepas dengan sendirinya dan dirinya telah pula berada di bawah sebatang pohon kurma.

Dalam hadis yang lain Ibnu Abbas berkata, Dia kemudian berdoa pada berhala, akan tetapi tidak satu berhala pun yang menjawabnya. Akhirnya, dia menengadah ke arah langit seraya berdoa, “Wahai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah! Aku bersaksi bahwasanya semua yang disembah mulai dari Arsy-mu sampai ke dasar bumi-Mu adalah batil, kecuali hanya Dzat-Mu Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, tolonglah hamba!”
Akhirnya Allah SWT mengutus malaikat agar melepaskan tali pengikatnya dan kemudian menurunkannya dari tiang salib.

Sang pengawal kemudian menangkapnya dan membawanya menghadap sang pemimpin dan ternyata di sana telah berkumpul kaum Bani Israil. Sang pemimpin selanjutnya berkata, “Apa yang akan kalian lakukan terhadap laki-laki ini?”
Mereka lalu menjawab, “Mengenai laki-laki ini terserah Anda, Allah-lah yang telah melepaskannya dan Anda tidak perlu lagi meminta pendapat kami.”

“Kalian benar, “ kata sang pemimpin. “Tinggalkanlah laki-laki ini!” perintahnya lagi.

Sa’id bin Zubair berkata, “Aku telah mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Demi Allah, di kalangan kaum Bani Israil, tidak ada kebajikan dan keutamaan seorang pun yang melebihinya, setelah pertaubatan laki-laki itu.”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Seorang Raja dari Bani Israil (2)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah saw, “Setelah Nabi Musa as wafat, kaum Bani Israil mengangkat seorang khalifah dimana dia melakukan shalat di sebuah atap di atas baitul Maqdis. Rasulullah saw menyebutkan beberapa hal yang pernah dilakukannya.”
Khalifah itu keluar meninggalkan tempat itu dan dengan menggunakan seutas tali yang terbentang di sebuah masjid, ia menghilang entah kemana.

Sang khalifah tersebut ternyata pergi jauh hingga mempertemukannya dengan sekelompok kaum yang tinggal di tepi sungai di wilayah Mesir, yang bermata pencaharian sebagai pembuat batu bata. Dia bertanya kepada mereka tentang cara pembuatan batu bata. Mereka pun secara panjang lebar menceritakan proses pembuatan batu bata. Karena tertarik, dia pun ikut bergabung bersama mereka untuk membuat batu bata, dan dari hasil jerih payahnya ini mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Setiap kali datang waktu shalat, dia segera berwudhu dan mengerjakan shalat. Karena rajin menunaikan shalat, maka oleh para pekerja yang lain dilaporkannya hal tersebut kepada sang mandor, “Bahwa dalam kelompok ini ada seseorang yang selalu melakukan begini dan begitu.”

Mendengar laporan dari anak buahnya itu, sang mandor mengirimkan seseorang untuk memanggilnya, akan tetapi sang khalifah tidak bersedia datang sekalipun sudah dipanggil tiga kali. Akhirnya dengan menunggang seekor kuda sang mandor itu datang menemuinya. Saat sang khalifah mengetahui kedatangan mandor tersebut, seketika itu pula lari meninggalkannya. Terjadilah kejar-mengejar antara mandor dan sang khalifah yang akhirnya terkejar juga. Setelah berhasil menyusulnya, si mandor berseru, “Tunggu, aku ingin berbicara denganmu!”

Sang khalifah menghentikan langkahnya dan kemudian menceritakan perihal jati dirinya, bahwa sebenarnya ia adalah seorang khalifah. Namun demikian, karena panggilan jiwa untuk beribadat mengabdi kepada Allah SWT, ia pun ikhlas menanggalkan gelar kebangsawanannya itu. Sang mandor kemudian berkata, “Aku yakin pada kesempatan yang lain aku dapat berjumpa denganmu kembali.”

Dan pada akhirnya bertemulah kembali sang mandor itu dengan sang khalifah, keduanya mengabdikan diri untuk menyembah Allah SWT hingga akhir hayatnya. Akhir kehidupan mereka berdua dihabiskan di daerah Rumailah Mesir.

Dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya aku dahulu tinggal di sana, niscaya aku akan datang ke makam mereka, untuk mencari petunjuk tentang sifat-sifat yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw.”

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Friday, April 6, 2012

Kisah Pertaubatan Seorang Raja dari Bani Israil (1)

Diriwayatkan dari Abdul Wahid bin Zaid, pada zaman dahulu pada kaum Bani Israil terdapatlah seorang ahli ibadah kepada Allah. Dia tiada mempunyai sesuatu yang berharga, kecuali sekedar selembar kain jubah wool dan sebuah geriba tempat air untuk memberi minum kepada orang-orang yang membutuhkannya.

Ketika menjelang sakaratul maut, dia sempat berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Aku tidak akan meninggalkan harta benda sedikit pun kecuali sekedar kain jubahku dan sebuah geriba ini, karena aku tidak akan sanggup membawanya pada hari kiamat nanti. Sepeninggalku nanti, berikanlah barang-barang itu kepada si Fulan yang menjadi raja agar ia membawanya beserta harta benda yang dimilikinya!”

Pada akhirnya laki-laki itu pun menghembuskan nafas terakhir, semua temannya lalu memberitahukan perihal apa yang diwasiatkan oleh sang ahli ibadah itu kepada raja mereka. Mendengar cerita mereka itu sang raja berkata, “Orang yang ahli ibadah ini tidak mampu membawa kain jubah dan geribanya, sedangkan aku yang membawa dunia, tentu aku lebih tidak mampu.”

Setelah berkata demikian, sang raja tersebut mengambil kain jubah itu dan mengenakannya serta diambilnya pula geriba tempat air kemudian keluarlah dia dari istananya untuk memberikan minum kepada semua orang yang membutuhkannya.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Raja dari Keturunan Raja-Raja Yaman

Diriwayatkan bahwa dahulu kala bertahtalah dua orang raja dari kalangan raja di negeri Yaman terlibat dalam suatu pertempuran, salah satu berhasil mengalahkan yang lain, membunuh dan mengusir pula seluruh pengawalnya.

Untuk menyambut dan merayakan kemenangan sang raja, semua tempat tidur dan seluruh sudut istana marak dengan berbagai hiasan dan telah menunggu beberapa orang untuk menyambut kedatangan sang raja. Ketika sang raja sampai di sebuah jalan menuju ke balai kehormatan, tiba-tiba seorang laki-laki asing yang berpenampilan seperti halnya orang gila berhenti di hadapannya seraya membacakan syair:

Dengarlah akan kisah beberapa hari yang lalu
Jika engkau orang yang teguh
Sesungguhnya kamu pada hari-hari itu
Berada antara orang yang melarang dan yang memerintah
Berapa banyak raja
Yang telah ditimbun tanah di atasnya
Sedang aku kemarin masih ada di atas mimbar.
Jika di dunia ini kamu bisa melihat
Maka sesungguhnya apa yang kamu capai di dunia itu
Adalah bagaikan bekalnya seorang musafir belaka
Jika di dunia seseorang masih berpegang teguh pada agamanya
Maka apa yang hilang dari dunia itu
Sama sekali tidak akan membahayakannya

Sang raja kemudian berkata kepada laki-laki tersebut, “Benar ucapanmu!” Setelah berkata demikian, sang raja pun turun dari kuda dan meninggalkan semua pengawalnya. Dia berpesan kepada mereka agar tidak ada seorang pun mengikutinya dalam perjalanan pengembaraannya menuju ke sebuah bukit.

Ini adalah akhir dari masa jabatannya, sehingga negeri Yaman mengalami kekosongan raja untuk beberapa hari lamanya. Hal itu berlangsung sampai para penduduk memilih seorang raja sebagai penggantinya.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Umru’ul Qais

Diriwayatkan oleh Abu Abdullah Muhammad Al Marzubani dari Muhammad bin Husain Al Azdi, Umru’ul Qais Al Kindy adalah seorang pendusta, cukup lama berkecimpung di jalur hiburan dan kesenangan. Suatu ketika dia keluar dengan menunggang kuda. Di tengah-tengah perjalanan dia terpisah dari rombongannya, dan hingga akhirnya bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang duduk sambil mengumpulkan tulang-belulang orang mati. Tulang-belulang itu diletakkan di hadapannya sambil dibolak-balik. Melihat hal tersebut Umru’ul Qais lalu bertanya, “Bagaimana ceritamu itu? Selamanya aku belum pernah melihat seseorang mempunyai pekerjaan buruk, berbadan kurus, pucat dan sendirian di padang sahara seperti ini.”

“Soal itu, aku adalah penempuh suatu perjalanan yang sangat jauh. Aku selalu dibuntuti dua orang yang kemudian mereka mengusirku hingga ke suatu tempat yang sempit, gelap dan sangat menyedihkan ini. Mereka membiarkanku bertemankan kehancuran dan kerusakan di bawah timbunan pasir ini. Sebenarnya, jika aku dibiarkan sendirian tinggal di tempat gersang, sempit, luar dan banyak binatang merayap di kulit dan tulangku, aku pun akan hancur dan tulang-belulangku berserakan berkeping-keping. Padahal cobaan dan penderitaan itu ada batasnya. Akan tetapi, setelah itu aku toh dikembalikan kepada mahsyar serta dikembalikan pada bahaya tempat pembalasan. Aku pun tidak tahu ke mana aku hendak dibawa (ke surga atau ke neraka)? Lalu, bagaimana seseorang menikmati kehidupan, padahal akan digiring ke sana?

Mendengar penuturan laki-laki tersebut, seketika itu pula sang raja (Umru’ul Qais) turun dari atas punggung kudanya dan kemudian duduk di hadapannya seraya berkata, “Wahai Fulan! Sungguh, apa yang Anda katakan tadi dapat mengeruhkan kejernihan hidupku serta melahirkan perasaan iba dalam hatiku. Oleh karenanya, aku mohon agar Anda berkenan mengulang kembali perkataan Anda itu dan sudilah kiranya menjelaskan kepadaku tentang agama Anda!”

“Tahukan Anda apa yang ada di kedua tanganku ini?” tanya si laki-laki itu.
“Ya, aku mengetahuinya,” jawab Umru’ul Qais.

“Ini adalah tulang-belulang para raja terdahulu yang terkecoh dan tergiur dengan kehidupan duniawi dan hatinya telah terkalahkan oleh kemewahan duniawi, sehingga terlena tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi sakaratul maut. Mereka tertipu oleh angan-angannya yang semu dan terlena oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi. Tulang-belulang ini pastilah akan dibangkitkan kembali ke wujud semula, kemudian dia pun mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya. Mungkin dia akan masuk surga dan mungkin juga justru masuk neraka,” jawab laki-laki tersebut.

Setelah berkata demikian, seketika itu pula lenyaplah laki-laki itu dari hadapan Umru’ul Qais. Umru’ul Qais akhirnya kembali menemui teman-temannya dalam keadaan pucat pasi dan air matanya berlinang.

Ketika malam datang menjelang, ditanggalkannya busana kebesarannya dan menggantinya dengan sepasang pakaian lusuh, lalu menyelinap keluar meninggalkan istananya menembus kepekatan malam. Dan itulah akhir dari kisah kehidupan sang raja.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Thursday, April 5, 2012

Kisah Pertaubatan Seorang Raja

Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah, “Aku bercerita kepada Umar bin Abdul Aziz tentang suatu kisah, seakan-akan kisah itu berkenaan dengan dirinya. Dahulu terdapat seorang raja yang mendirikan sebuah bangunan indah dan megah. Ketika pembangunan itu selesai, sang raja kemudian menyajikan suatu pesta yang dihadiri oleh banyak orang. Di setiap pintu masuk gedung tersebut dijaga oleh beberapa petugas yang siap melontarkan pertanyaan kepada para undangan yang hadir. Masing-masing tamu undangan akan ditanya, “Apakah kalian melihat cacat atas bangunan istana ini?” Semua tamu yang ditanya itu menjawab, “Tidak ada!” sehingga sampailah kepada sekelompok orang yang datang paling akhir yang mengenakan pakaian yang beraneka ragam jenisnya, dan mereka pun ditanya, “Adakah kalian melihat cacat atas bangunan istana ini?” Mereka menjawab, “Kami melihat ada dua cacat.”

Para petugas itu menahan mereka dan membawanya masuk menghadap sang raja. Para pengawal raja itu lalu berkata, “Banyak sekali orang yang menghadiri jamuan makan dan kami pun menanyainya satu persatu. Mereka semua menjawab tidak menemukan adanya cacat atas bangunan ini, hingga ketika giliran pada sekelompok orang yang berpakaian beraneka ragam yang kami curigai ini. Mereka adalah para generasi muda dan kami pun bertanya kepada mereka, dan dijawab oleh mereka, “Kami melihat dua cacat dari bangunan istana ini.”

“Aku muak kepada orang itu, sekarang hadapkan mereka kepadaku!” perintah sang raja.

Para pengawal pun mengajak mereka masuk menghadap raja. Setelah mereka menghadap, sang raja lalu bertanya, “Adakah kalian melihat cacat bangunan istanaku?”

“Memang, kami melihat dua cacat dalam istana ini,” jawab mereka.
“Apakah kedua cacat tersebut?” tanya sang raja.
“Bangunan ini akan hancur dan pemiliknya akan mati,” jawab mereka.
“Adakah kalian melihat sebuah rumah yang tidak akan khancur dan pemiliknya kekal abadi?” tanya sang raja.
“Ya, ada,” jawab mereka.
“Apakah itu?” tanya sang raja kembali.
“Rumah di akhirat,” jawab mereka.
Mereka lalu mengajak sang raja (masuk Islam) dan sang raja itu pun menyetujui ajakan mereka.

Sang raja lalu berkata kepada mereka, “Jika aku berangkat bersama kalian secara terang-terangan, niscaya penghuni kerajaanku tidak akan mengijinkannya. Sekarang aku berjanji kepada kalian untuk bertemu kembali di suatu tempat pada pukul sekian.”

Setelah berselang beberapa lama, sang raja lalu berkata kepada mereka, ‘Alaikummussalaam.
“Ada apa dengan Anda? Adakah sesuatu yang tidak Anda sukai pada diri kami?” tanya mereka.
“Tidak,” jawab sang raja.
“Apa yang memberatkan diri Anda?” tanya mereka.
“Kalian semua telah mengenal aku, kemudian kalian menghormati aku atas tindakanku yang dulu telah aku lakukan,” jawab sang raja.

Kisah ini seakan-akan berkaitan dengan persoalan Umar. Aku pun pergi menemui Maslamah dan menceritakan semuanya.

Maslamah kemudian pergi menemui Umar dan menuturkan cerita ini. Umar berkata, “Celakalah engkau Maslamah! Adakah kalian melihat seseorang yang dibebani sesuatu yang tidak mampu menanggungnya, kemudian dia lari kepada Allah SWT. Apakah kamu melihat ada sesuatu yang membahayakan atas dirinya?”

Maslamah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, takutlah Anda kepada Allah tentang ummat Muhammad saw. Demi Allah, jika Anda melakukan hal itu niscaya mereka akan saling membunuh dengan senjata mereka masing-masing.”

Umar berkata, “Celaka kamu Maslamah, aku telah dibebani yang aku tidak mampu melakukannya,” dan Umar mengulang-ulang perkataannya ini dan Maslamah terus-menerus mengulang kata-katanya sehingga Umar menjadi tenang kembali.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Sang Pemilik Istana

Adalah sebuah istana yang ada di daerah Hairah milik Nu’man bin Syaqiqah, yang dibangun oleh seorang laki-laki bernama Sinimmar. Ketika berhasil merampungkan bangunan gedung istana itu, para penduduk merasa kagum atas keindahan dan kekuatan gedung tersebut. Sinimmar kemudian berkata, “Jika kalian tahu, kalian akan membayarku dan telah memberikan hakku, niscaya aku akan membangunkan sebuah istana yang lebih indah lagi, yang bisa memandang matahari ke manapun berputar.

Mereka lalu berkata, “Kamu telah berjanji akan membangunkan istana yang lebih indah lagi, tetapi ternyata kamu tidak pernah melaksanakannya!” Kemudian diperintahkan agar Sinimmar dilemparkan dari atas istana.
-----
Dari Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam; ketika hujan pertama turun dan diikuti hujan-hujan berikutnya, tanah-tanah mulai menumbuhkan tetumbuhan dan berbuah, seorang raja keluar ke sebuah istana dan Sungai Sadir. (Sadir adalah sebuah sungai yang ada di daerah Hairah. Ada yang berpendapat, bahwa Sadir adalah sebuah istana di daerah Hairah milik keluarga Mundzir. Ada pula yang berpendapat bahwa Sadir adalah sebuah istana di dekat istana Nu’man bin Syaqiqah). Dia adalah seorang raja yang berjaya, hartanya melimpah ruah, selalu menang dalam peperangan dan terkenal diktator.

Suatu saat ia sedang melepaskan pandangannya ke suatu tempat yang sangat jauh seraya berkata kepada para menetrinya, “Milik siapa semua ini?” Para menteri pun segera menjawab, “Milik sang raja!” Raja itu lalu bertanya lagi, “Adakah seseorang yang diberi harta melimpah ruah seperti aku ini?”

Sang raja ini mempunyai penasihat ahli dalam diplomasi. Suatu saat pendamping itu berkata kepada sang raja, “Wahai paduka Raja, tuan telah menanyakan sesuatu, apakah tuan mengijinkan saya untuk menjawabnya?”
“Boleh,” jawab sang raja.

“Tahukah tuan akan keberadaan tuan sekarang ini? Adakah tuan memiliki sesuatu yang tidak akan rusak, atau memiliki suatu benda yang akan menjadi harta warisan sedang barang tersebut akan musnah dari Tuan, berpindah menjadi hak milik orang lain sebagaimana halnya benda itu dahulu tuan rebut?” kata sang penasihat.
“Ya, memang demikian,” kata sang raja.

“Saya tidak melihat tuan, melainkan merasa kagum atas sesuatu yang hanya sedikit dan remeh, akan tetapi justru urusannya menjadi panjang dan hal itu besok akan dihisab,” kata sang penasihat.
“Lalu, ke mana aku harus berlindung dan kembali?” tanya sang raja sambil menggigil ketakutan.

“Tuan mungkin saja dapat menegakkan kerajaan tuan demi untuk taat kepada Allah dalam suka maupun duka, atau tuan melepaskan diri dari kerajaan dan meletakkan mahkota, lalu tuan kenakan pakaian lusuh dan beribadat kepada Allah di bukit ini sampai ajal menjemput tuan,” kata sang penasihat.

“Hal ini akan kupikirkan malam ini, dan esok menjelang dini hari barulah aku akan menemuimu untuk menyampaikan keputusanku di antara dua tempat yang kupilih,” kata sang raja.

Menjelang sahur, sang raja mengetuk pintu rumah sang penasihat dan setelah dibukakan serta dipersilahkan masuk, berkatalah sang raja itu, “Aku memilih bukit ini, pada sahara dan daerah tidak berpenghuni ini. Aku sekarang telah mengenakan pakaian tenunan kasar serta telah kuletakkan mahkotaku. Jika kamu memang setia menemaniku janganlah kamu sampai meninggalkanku.”

Demi Allah, mereka berdua kemudian mendiami bukit yang dimaksud dan menetap di sana hingga ajal mereka berdua.

Ini lah dikatakan oleh saudaranya Bani Tamim yang bernama ‘Adi bin Zaid Al-‘Ibady dalam sebuah syairnya:

Wahai orang yang gembira atas bencana
Yang selalu mencaci maki sepanjang masa
Engkau yang telah terbebas dan makmur?
Ataukah engkau yang mempunyai janji yang teguh
Pada hari-hari yang telah lalu?
Sebenarnya engkau adalah orang yang bodoh dan tertipu.
Siapakah yang dapat melihat kematian mengekalkan?
Atau siapakah yang dapat melihat kematian mengekalkan?
Atau siapakah yang mau dipaksakan oleh seorang penjaga?
Di manakah raja-raja, Raja Anusirwan,
Di manakah raja Sabur yang hidup sebelumnya?
Dimana Banu Al Ashfar, raja-raja Romawi yang mulia?
Semua itu sekarang tidak mempunyai nama sama sekali
Di mana sekarang penguasa daerah Al Hadhr?
Yang telah membangun sebuah istana
Ketika air Sungai Dijlah dan Sungai Khabur telah dibendungnya
Ia telah membangun istana itu
Dengan lapisan marmer yang dilekatkan dengan kapur
Di sana ada burung-burung
Yang air liurnya dapat menjadi sarang burung?
Selamanya ia tidak pernah mengalami kesulitan hidup
Tapi akhirnya raja itu hancur
Dan pintunya pun tertutup
Dan ingatlah akan pemilik istana
Ketika ia mulai sadar
Dan memikirkan akan petunjuk Allah
Semula ia bangga akan hartanya
Dan banyaknya harta yang ia miliki
Bagaikan lautan dan Sungai Sadir yang luas
Hatinya lalu terketuk dan berkata:
Apa arti kegembiraan hidup ini
Yang akan menuju kepada kematian?

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Anak Raja dari Raja-Raja Bani Israil

Dari Bakr bin Abdullah Al Muzani, “Dahulu kala terdapat seorang laki-laki dari sekian banyak raja Bani Israil yang telah dikaruniai umur panjang, harta melimpah ruah dan keturunan yang banyak. Apabila salah satu dari anaknya menginjak dewasa, ia selalu mengembara menyusuri pegunungan dengan mengenakan baju berbulu dan memakan buah-buahan. Berkelana menjelajahi bumi sampai menjelang ajalnya.

Dari kelompok Bani Israil sendiri, di antara mereka pun mengikuti jejak sang raja tersebut, bahkan kebiasaan ini diwarisi pula oleh putra-putranya.

Dikisahkan, sang raja menjelang hari tuanya dikaruniai seorang anak laki-laki. Begitu senang atas karunia tersebut, sang raja lalu mengumpulkan semua rakyatnya dan berkata, “Pada usiaku menjelang senja ini, aku telah dikaruniai seorang anak laki-laki, dan kalian semua telah tahu betapa besar kasih sayangku kepada kalian semua. Ada sesuatu hal yang membuatku khawatir, jika putraku ini kelak mengikuti pula jejak saudara-saudaranya. Dan aku sangat mengkhawatirkan atas diri kalian semua, yakni akan binasa, jika setelah aku tiada nanti, kalian tidak mempunyai seorang pemimpin dari keturunanku. Sekarang rawatlah dia sejak kecil dan ajarilah dia agar cinta pada dunia, semoga saja dia akan tetap ada di sisi kalian setelah aku tiada nanti!”

Untuk menjaga putra sang raja itu, kaum Bani Israil pun membangun pagar seluas satu mil dan bertahun-tahun putra kerajaan itu dikurung dan dididik di dalamnya.

Suatu hari ketika putra raja menunggang kuda, dijumpainya tembok yang mengelilingi lingkungan sekitarnya tanpa celah sedikit pun. Ia pun berkata, “Aku yakin di belakang tembok ini masih ada orang lain dan orang yang lebih pandai. Keluarkanlah aku dari dalam kungkungan tembok ini untuk menuntut ilmu dan agar aku dapat bergaul dengan orang lain!”

Hal itu kemudian dilaporkan kepada sang raja, dia pun terkejut dan merasa takut jika putranya yang satu ini akhirnya mengikuti jejak saudara-saudaranya. Sang raja berkata, “Kumpulkan untuknya segala yang dapat memikat hatinya dan segala jenis permainan!”

Mendengar perintah sang raja itu, kaum Bani Israil pun segera menjalankan semua titahnya.

Pada tahun kedua, putra raja itu bertekad kembali untuk keluar, dengan berkata, “Aku harus keluar!”
Keinginan putra sang raja itu disampaikan kepada orangtuanya, dan dia berkata, “Biarlah dia keluar.”

Untuk keberangkatannya itu, kepada putra raja telah dipersiapkan sebuah kereta, dikenakan sebuah mahkota yang terbuat dari permata dan emas, juga dikawal oleh dua orang pengawal.

Selagi asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba berpapasan dengan seseorang yang menderita suatu penyakit. Dia pun bertanya, “Siapakah orang itu?” Para pengawalnya menjawab, “Dia orang yang sedang menderita suatu penyakit.”

Putra raja itu lalu berkata, “Apakah penyakit semacam itu menular kepada sebagian orang saja, ataukah mereka hanya takut terhadapnya?”
Para pengikutnya menjawab, “Orang-orang takut kepadanya.”
Putra raja kembali berkata, “Apakah aku akan tetap menjadi raja?”
Mereka menjawab, “Benar..!”

Sang putra raja berkata, “Alangkah buruknya kehidupan kalian ini! Ini adalah cara hidup yang kotor!” Setelah berkata demikian, dia kembali ke istana dengan wajah muram dan sedih. Peristiwa tersebut disampaikan kepada ayahnya dan sang ayah kemudian berkata, “Kumpulkan untuknya setiap permainan yang menyenangkan, sehingga segala kesusahan dan kemurungan dalam hatinya lenyap!”

Putra raja itu pun berdiam diri di dalam istana selama satu tahun.
“Bawalah aku keluar!” katanya.

Mereka pun mengajaknya keluar dari istana sebagaimana saat pertama kali. Di tengah perjalanan dijumpainya seorang laki-laki lanjut usia dan mulutnya selalu berliur. Melihat hal itu putra raja bertanya, “Siapakah orang itu?”
“Dia adalah seorang lanjut usia yang telah uzur,” jawab mereka.
“Apakah yang demikian ini menimpa banyak orang atau masing-masing takut terhadapnya bila dia diberi umur panjang?” tanya putra raja.
“Masing-masing orang itulah yang takut terhadapnya,” jawab mereka.
“Alangkah hinanya kehidupan kalian ini! Ini adalah kehidupan yang tidak pantas bagi seseorang,” kata putra raja.

Hal ini pun dilaporkan kepada ayahandanya dan sang ayah berkata, “Kumpulkan untuknya setiap permainan yang menyenangkan!” Mereka segera melaksanakan perintah sang raja itu.

Putra raja kembali tinggal di istana selama satu tahun. Ia pun meninggalkan istana lagi dengan menunggang kudanya sebagaimana perjalanannya dahulu. Ketika sedang menikmati perjalanan, dia pun berpapasan dengan serombongan laki-laki yang sedang menggotong sebuah keranda. Melihat hal itu putra raja lalu bertanya, “Siapakah itu?”
“Orang yang mati,” jawab mereka.
“Apakah mati itu? Bawalah dia kemari!” pinta putra raja. Mendengar permintaannya ini mereka lalu membawanya ke hadapannya.

“Dudukkanlah dia!” pinta putra raja.
“Dia tidak dapat duduk,” jawab mereka.
“Ajaklah dia berbicara!” pintanya.
“Dia tidak dapat berbicara,” jawab mereka.
“Lalu, kemana kalian akan membawanya?” tanya putra raja itu kembali.
“Kami akan menyemayamkannya dalam liang lahat,” jawab mereka.
“Ada apa setelah pemakaman itu nanti?” tanyanya kembali.
“Kebangkitan,” jawab mereka.
“Apakah kebangkitan itu?” tanya putra raja.
“…(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (QS Al Muthaffiffin: 6), dimana pada hari itu masing-masing orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan kadar kebajikan dan keburukan amalnya,” jawab mereka.
“Jadi, kalian ini mempunyai suatu tempat di mana di tempat itu kalian akan mendapatkan balasan?” tanya putra raja.
“Ya,” jawab mereka.

Putra raja itu pun melompat dari atas punggung kuda, lalu mengusap-ngusapkan debu ke seluruh mukanya sambil berkata, “Ingatlah, hanya Tuhanlah yang memberi, membangkitkan dan memberikan balasan! Ini adalah akhir masa perjuanganku dengan kalian. Setelah hari ini kalian tidak mempunyai hak atas diriku.”

“Kami tidak akan meninggalkanmu sebelum kami mengantarkanmu kembali kepada ayahmu,” jawab mereka.

Mereka pun mengantarkan kembali sang putra raja itu kepada ayahnya, dimana pada saat itu dia pucat. Sang ayah bertanya, “Wahai anakku, apa yang membuatmu sedih?”
“Aku sedih karena memikirkan suatu hari dimana pada hari itu yang besar maupun kecil akan menerima balasan amalnya, baik amal yang baik maupun buruk,” jawab putra raja itu.

Putra raja itu lalu meminta sebuah baju dan mengenakannya seraya berkata, “Nanti malam aku akan pergi.”

Setelah hari menjelang malam atau mendekati pertengahan malam putra sang raja menyelinap keluar meninggalkan istana. Sesampainya di depan pintu gerbang kerajaan, maka dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku ini meminta kepada Engkau sesuatu yang menurutku tidak sedikit dan tidak banyak, akan tetapi sesuatu itu telah didahului oleh takdir. Tuhanku, sesungguhnya aku senang jika air itu tetap berada di dalam air dan tanah itu tetap berada di dalam tanah, sedikit pun aku tak ingin kedua mataku memandang dunia.”

Bakr bin Abdullah Al Muzani berkata; ini adalah kisah seorang laki-laki yang keluar dari satu dosa, sedang dia sendiri tidak tahu apa yang mesti dilakukannya? Sekarang bagaimana dengan orang yang berbuat dosa dan dia tahu atas apa yang telah dilakukan, bahkan tidak merasa berdosa karenanya, tidak menyesal dan tidak pula bertaubat?

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

Kisah Pertaubatan Raja Thalut

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih, bahwasanya ketika Nabi Daud as dapat membunuh Jalut, dan Thalut kembali pulang bersama dengan kaum Bani Israil dengan membawa kemenangan, Thalut pun kemudian menikahkan putrinya dengan Nabi Daud, dan juga menyerahkan separuh kerajaannya kepada beliau.

Syahdan berkumpullah kaum Bani Israil dan berkata, “Kita turunkan saja Thalut dari kursi kerajaan dan kita angkat Daud sebagai penggantinya, karena Daud adalah keturunan dari Yahudza dan dialah yang lebih berhak menjadi raja.”

Ketika Thalut menyadari hal itu dan mengkhawatirkan hilangnya kekuasaannya, ia pun berniat melakukan tipu muslihat dan membunuh Daud. Sebagian menterinya menyampaikan pendapatnya, “Tuan tidak mungkin dapat membunuh Daud, kecuali jika Tuan dibantu oleh putri Tuan sendiri.”

Mendengar saran dari sebagian menterinya ini, Thalut kemudian datang kepada putrinya seraya berkata, “Anakku, aku mempunyai suatu maksud dan aku berharap kamu bersedia membantu!”
Sang putri bertanya, “Keperluan apakah itu?”

Thalut menjawab, “Aku berencana membunuh Daud, karena dia telah memecah-belah rakyat.”
Sang putri bertanya kembali, “Ayah, Daud adalah orang yang kuat dan keras. Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan ayah jika ternyata ayah tidak berhasil membunuhnya, bahkan mungkin dialah yang akan mengalahkan dan membunuh ayah. Jika terjadi demikian, berarti ayah akan menghadap Allah sebagai orang yang bunuh diri dan sekaligus menghalalkan darah Daud. Sungguh mengherankan maksud demikian muncul dari ayah yang saya kenal lapang dada dan arif bijaksana.
Bagaimana mungkin saya menyetuji gagasan picik dan tipu muslihat yang lemah, yang hendak ayah jalankan itu terhadap Daud. Sedangkan ayah sendiri tahu, bahwa sesungguhnya Daud adalah salah seorang penduduk bumi yang paling teguh jiwanya dan paling berani mati?”

Thalut kemudian menjawab, “Aku tidak akan mendengarkan perkataan seorang wanita yang tergila-gila kepada suaminya dan cintanya kepada suaminya telah menghalanginya untuk menerima dan setia kepada ayahnya sendiri. Ketahuilah bahwa aku tidak mengajakmu untuk membantu rencana yang sudah aku sampaikan kecuali aku sudah bertekad memutuskan hubungan dengannya sebagai menantu. Tinggal pilih: aku membunuhmu atau kau akan membunuhnya.”

Sang putri berkata, “Berilah kesempatan kepada saya sampai saya mendapat kesempatan, dan saya akan segera menghubungi ayah!”

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sang putri kemudian berlalu dari hadapan ayahnya seraya mengambil sebuah kantung air yang dipenuhi arak, dan diberinya wewangian minyak misik, anbar dan wewangian lainnya.

Kantung berisi arak tersebut diletakkannya agak miring di tempat tidur Daud dan kemudian ditutupi dengan selimutnya (agar Thalut menyangka bahwa yang tidur itu adalah Daud). Setelah segala sesuatunya beres, sang putri lalu memberitahu kepada suaminya Daud, tentang tipu muslihat yang dirancangnya itu dan meminta Daud agar masuk ke kamar lainnya.

Kemudian sang putri pun menghubungi ayahnya seraya berkata, “Silahkan ayah pergi menemui Daud bila hendak membunuhnya sekarang!”

Thalut pun berangkat menuju ke rumah Nabi Daud as dengan membawa pedang. Sesampainya di rumah beliau, putrinya berkata, “Daud ada di sana, sekarang tinggallah urusan ayah dengannya.”

Thalut meletakkan pedang tepat di (arah yang dikiranya) ulu hati menantinya dan kemudian menekannya hingga menembusnya. Seketika itu tumpahlah arak (dari kanrung air yang disamarkan tubuh Daud) dan dari arak itu Thalut dapat mencium aroma minyak misik dan wewangian yang lain. Thalut pun berkata, “Alangkah wangi aromamu dalam keadaan mati, Daud. Semasa hidup engkau lebih wangi lagi. Engkau suci dan bersih.”

Thalut pun menyesali perbuatannya dan dia menangis seraya mengayunkan pedang ke tubuhnya untuk menebus kesalahannya (hendak bunuh diri). Melihat kejadian itu putrinya segera memeluknya seraya berkata, “Wahai ayah, apa yang hendak ayah lakukan? Bukankah ayah telah berhasil mengalahkan dan membunuh musuh ayah? Ayah telah diberi kebebasan oleh Allah dan sekarang kerajaan ayah seutuhnya berada dalam genggaman ayah!”

Thalut berkata, “Wahai putriku, kamu telah tahu bahwa dengki dan iri telah mendorongku untuk membunuh Daud, dan kini aku menjadi penduduk neraka! Sesungguhnya Bani Israil tidak akan rela dengan hal itu. Karenanya biarlah sekarang kuhabisi diriku sendiri.”

Sang putri kemudian berkata,”Wahai ayahandaku, apakah ayah merasa bahagia andaikata ayah tidak benar-benar membunuhnya?”
Thalut menjawab, “Tentu.”

Mendengar jawaban sang ayah, seketika putrinya pun mengeluarkan Daud dari dalam kamar dan berkata, “Wahai ayah, sesungguhnya ayah tidaklah membunuh Daud. Lihatlah, bukanlah dia Daud?”
Thalut kemudian menyesali perbuatannya.

Dan diriwayatkan dari Makhul; para ahli kitab beranggapan bahwa Thalut telah memohon ampun kepada Allah, dan mengharapkan agar dapat terlepas dari dosanya. Dia mendatangi wanita tua dari kalangan Bani Israil yang menguasai suatu ‘asma bertuah’ yang apabila digunakan untuk berdoa kepada Allah, doanya akan dikabulkan. Thalut berkata kepada orang tua itu, “Aku telah melakukan suatu kesalahan, yang tidak ada seorang pun dapat memberitahu bagaimana menebusnya, kecuali Ilyasa’. Sudikah kiranya Anda menemaniku ke makamnya dan memohonkan kepada Allah SWT agar Dia berkenan membangkitkan dari kuburnya, sehingga aku dapat bertanya kepadanya, bagaimana aku menebus kesalahanku ini?”

Orang tua itu menjawab, “Baiklah, aku bersedia.”
Keduanya berangkat bersama menuju ke makam Ilyasa’
Orang tua itu lalu menjalankan shalat dua raka’at dan berdoa kepada Allah agar memperkenankan Ilyasa’ menemui mereka berdua.
Akhirnya dikabulkan-Nya doanya dan keluarlah Ilyasa’ dari dalam kubur. Ilyasa’ kemudian berkata, “Wahai Thalut, apa kesalahanmu sehingga engkau keluarkan aku dari tempat pembaringanu sekarang ini?”

Thalut menjawab, “Wahai Nabi Allah, sungguh rumit permasalahanku ini, sehingga untuk memecahkannya aku harus meminta bantuanmu.”

Ilyasa’ berkata, “Tebusan atas kesalahanmu itu adalah, kamu harus melawan dirimu sendiri beserta semua keluargamu hingga tiada tersisa seorang pun.”

Setelah berkata demikian, Ilyasa’ kembali ke tempat pembaringannya semula, dan Thalut pun mengerjakan apa yang telah disarankan oleh Ilyasa’, sehingga dia dan seluruh keluarganya berjuang sampai terbunuh semua.

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)