Wednesday, November 21, 2012

Kisah Barakh: Hamba Yang Dikabulkan Doanya

Kisah Barakh: Hamba yang Dikabulkan Doanya

Nabi Musa Kalimullah as disuruh meminta kepada Barakh untuk melakukan shalat istisqa’ (shalat minta hujan) untuk kaum Bani Israil, sesudah mereka tertimpa kemarau selama 7 tahun.

Nabi Musa as keluar untuk mengerjakan shalat istisqa’ untuk mereka, dengan berjumlah 70 ribu orang. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Bagaimana Aku mengabulkan doa mereka, dimana mereka telah digelapkan oleh dosa-dosanya, hati mereka itu keji. Mereka berdoa kepadaku dengan tidak yakin dan merasa aman dari siksaan-Ku. Pergilah pada salah seorang dari hamba-Ku yang bernama Barakh. Maka katakanlah kepadanya supaya ia keluar untuk melaksanakan shalat istisqa’, sehingga Aku mengabulkan doanya.

Maka Nabi pun bertanya-tanya tentang Barakh, mereka tiada satu pun yang mengenal.
Hingga pada suatu hari Nabi Musa berjalan-jalan di suatu jalan, tiba-tiba seorang hamba hitam telah berada di hadapannya. Dan antara dua mata hamba itu berdebu dari bekas sujud dan di lehernya diikat dengan kain selimut. Maka Nabi Musa as mengetahuinya dengan nur Allah Azza wa Jalla.

Maka Nabi Musa memberi salam kepadanya dan bertanya, “Siapakah namamu?”
Hamba hitam itu menjawab, “Barakh!”
Nabi Musa berkata, “Jadi kamu ini, yang kami cari-cari semenjak beberapa waktu. Bangunlah dan bershalat istisqa’ bersama-sama kami.”

Maka hamba hitam itu bangun. Dan ia mengucapkan di dalam doanya, “Bukankah semua ini dari perbuatan-Mu? Bukankah semua ini dari kesantunan-Mu? Kiranya apakah yang tampak bagi-Mu? Adakah kurang untuk-Mu akan mata air-Mu? Ataukah angin yang melawan kepada perintah-Mu? Atau telah habis apa yang ada pada-Mu? Ataukah karena kerasnya kemarahan-Mu atas orang-orang yang berdosa? Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berbuat kesalahan? Telah Engkau ciptakan rahmat dan Engkau telah menyuruh dengan kasih sayang. Ataukah Engkau perlihatkan kepada kami bahwasanya Engkau enggan. Ataukah Engkau khawatir akan luput waktu dimana akan Engkau segerakan siksaan?”

Yang meriwayatkan terus berkata, “Maka senantiasa Barakh pada tempatnya. Sehingga basahlah kaum Bani Israil dengan tetes-tetes hujan. Dan Allah Ta’ala menumbuhkan rumput dalam setengah hari, sehingga datanglah orang-orang penggembala unta.”

Maka kembalilah Barakh, lalu ia dijemput oleh Musa as.
Barakh bertanya, “Bagaimana kamu melihat, ketika saya mengadu kepada Tuhanku? Bagaimana Dia menginsafkan aku?”
Lalu Nabi Musa minta pengertian daripadanya, maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya, “Bahwa Barakh menertawakan Aku setiap hari tiga kali.”

(Ihya Ulumuddin, Bab Mahabbah)

Kisah Sang Pembaca Al Quran

Diceritakan dari sebahagian murid (orang yang menuju jalan akhirat), ia berkata, “Saya telah memperoleh kemanisan bermunajah pada permulaan kehendakku berjalan kepada Allah. Maka saya membiasakan membaca Al Quran terus menerus pada siang dan malam hari. Kemudian datanglah kepadaku kemalasan dan terputuslah aku dari membaca Al Quran.

Murid itu kemudian berkata, “Maka saya mendengar suara yang mengatakan dalam tidurku, ‘Jika kamu mengaku-ngaku bahwa kamu mencintai-Ku, mengapa kau putuskan dari membaca kitab-Ku? Apakah kamu tidak memahami apa yang berada di dalamnya dari halusnya cacian-Ku?’

Murid itu kemudian berkata, ‘maka saya terjaga dari tidur dan telah terserap dalam hatiku akan kecintaan kepada Al Quran, lalu saya membiasakan kembali untuk membaca Al Quran seperti yang sudah-sudah.”

(Dari Kitab Ihya Ulumuddin Bab Mahabbah)

Anugerah Dalam Bencana


Masruq berkata;
“Adalah seorang lelaki di desa mempunyai seekor anjing, seekor keledai dan seekor ayam jantan. Ayam jantan membangunkan mereka untuk melaksanakan shalat. Keledai membawakan air untuk mereka dan membawakan tempat perkemahannya dan anjing yang menjaganya.

Maka datanglah musang menyambar ayam jantan itu. Maka mereka bersusah hati karenanya. Dan di desa itu ada seorang lelaki shalih, lalu ia berkata, “Semoga yang demikian itu lebih baik untuknya.”
Kemudian datanglah seekor serigala merobek-robek perut keledai dan membunuhnya. Mereka bersusah hati karenanya.
Lelaki yang shalih itu kembali berkata, “Semoga yang demikian itu lebih baik untuknya.”
Kemudian sesudah itu tertimpalah anjing pada kebinasaan.
Lelaki shalih berkata, “Mungkin yang demikian itu lebih baik untuknya.”

Kemudian pada suatu pagi hari, mereka melihat, bahwa orang-orang di sekitar mereka ditawan. Dan hanya ia saja yang tidak ditawan.

Masruq berkata, “Sesungguhnya mereka itu ditawan karena pada mereka ada suara anjing, keledai dan ayam jantan. Maka barangsiapa yang mengetahui akan kesamaran lemah-lembutnya Allah Ta’ala, niscaya ia ridha dengan perbuatan-Nya dalam segala hal.

(Dari Ihya Ulumuddin, Bab Mahabbah)

Tuesday, November 20, 2012

Tegar Dalam Kesakitan

Adalah Imran bin Hushain meminta minum untuk perutnya (hausnya). Maka ia tetap terlentang selama tiga puluh tahun, tidak berdiri dan tidak duduk. Dan telah dilobangi tempat tidurnya yang terdiri dari pelepah kurma, dimana dengan lobang itu adalah tempat buang air besarnya.

Maka masuklah Muthrif dan saudaranya Al-Ala’ ke tempatnya, keduanya menangis, karena mereka melihat keadaan Imran bin Hushain itu.
Imran lalu bertanya, “Mengapa kamu menangis?”
Muthrif menjawab, “Karena saya melihat kamu pada keadaan yang demikian ini.”
Imran berkata, “Janganlah kamu menangis! Karena sesungguhnya kecintaannya kepada Allah Ta’ala itu adalah kecintaan kepadaku.”
Kemudian Imran melanjutkan perkataannya, “Saya akan menceritakan sesuatu kepadamu. Semoga Allah memberi kemanfaatan padamu dengan keadaanku ini. Dan sembunyikanlah ceritaku ini sampai saya mati. Sesungguhnya para malaikat telah berkunjung kepadaku. Lalu saya bersenang-senang hati dengan mereka. Mereka memberi salam kepada saya, dan saya mendengar salamnya. Dengan demikian saya mengerti bahwa cobaan yang menimpa kepadaku itu bukan siksaan, karena dengan cobaan itu menjadi sebab sebuah kenikmatan yang besar. Maka barangsiapa yang telah menyaksikan nikmat sebesar ini, siapa yang tidak ridha dengannya?”





Memilih Untuk Buta


Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash datang di Mekkah, dimana ia sudah tidak bisa melihat lagi, maka datanglah orang banyak kepadanya berbondong-bondong, setiap orang meminta dari Sa’ad bin Abi Waqqash supaya berdoa untuknya. Maka Sa’ad berdoa untuk si ini dan si ini. Dan adalah doanya terkabul.

Abdullah bin Sa’ib berkata, “Maka saya mendatangi Sa’ad bin Abi Waqqash dan saya waktu itu masih kecil. Maka saya memperkenalkan diri kepadanya dan ia mengenalku.
Ia bertanya kepadaku, “Kamu qari (ahli membaca Al Quran)-nya penduduk Makkah?”
Saya menjawab, “Ya”
Maka ia menerangkan suatu cerita. Sampai akhir cerita yang ia ceritakan, saya bertanya kepadanya. “Hai pamanku, kamu berdoa untuk manusia. Maka jikalau kamu berdoa untuk dirimu sendiri, niscaya dikembalikan oleh Allah penglihatanmu.”
Maka ia tersenyum dan berkata, “Hai anakku! Qadha (keputusan) Allah Yang Maha Suci untukku adalah lebih bagus dari penglihatanku.”

(Kitab Ihya Ulumuddin, Bab Mahabbah)

Thursday, November 1, 2012

Kisah Rumah Tangga Yusuf as dan Zulaikha

Sebagaimana yang telah diriwayatkan, bahwa Zulaikha telah beriman dan telah dinikahi oleh Nabi Yusuf as, maka ia menyendiri dari Yusuf dan bersunyi sepi untuk beribadah. Ia menghabiskan semua waktu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Adalah Yusuf yang mengajaknya ke tempat tidur pada siang hari, Zulaikha menangguhkannya sampai malam hari. Ketika Zulaikha diajaknya pada malam hari, Zulaikha menolaknya sampai siang hari.

Ia berkata kepada Yusuf, “Hai Yusuf! Sesungguhnya aku mencintaimu sebelum aku mengenal Dia. Maka apabila aku telah mengenal-Nya, niscaya tidak aku sisakan lagi untuk cinta selain Dia. Dan aku tidak menghendaki akan ada gantinya.”

 Sehingga berkatalah Yusuf kepada Zulaikha, “Sesungguhnya Allah Yang Agung Nama-Nya, Dia memerintahkan untukku yang demikian. Dia memberitahukan kepadaku, bahwa Dia memberi anugerah daripadamu dengan dua anak dan dijadikan dua anak itu menjadi nabi.”

 Zulaikha lalu berkata, “Maka apabila Allah telah memerintahkan kepadamu untuk yang demikian dan dijadikannya aku untuk jalan kepadanya, maka aku pasti taat pada perintah Allah Ta’ala. Pada ketaatanlah aku bertenang hati kepada-Nya.”

 (Sumber Ihya Ulumuddin bab Mahabbah)