Mengenal Miryam : Kakak Perempuan Musa
as.
Kisah kelam ihwal pembantaian para bayi
laki-laki itu berawal dari mimpi yang dialami Firaun dalam tidurnya ia melihat
seakan-akan ada kobaran api dari Baitul Maqdis yang bergejolak mendekat
kepadanya. Api itu membakar dan bangunan kerajaan dan menghanguskan komunitas
Qibthi di Mesir, tetapi kobaran api itu sama sekali tidak membakar komunitas
Bani Israil di negeri itu. Ketika Firaun terbangun dari tidurnya, ia sangat
terkejut dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Setelah itu, ia segera
mengumpulkan para dukun, tunag sihir, dan tukang tenung untuk menafsirkan arti
mimpinya itu. Ia meminta petunjuk dari mereka tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Mereka pun berkata, "Akan lahir anak laki-laki dari kalangan Bani
Israil yang menjadi penyebab hancurnya negeri Mesir di bawah
kekuasaannya." Oleh sebab itu, Firaun memerintahkan para prajuritnya untuk
membunuh setiap anak laki-laki sedangkan anak-anak perempuan dibiarkan hidup.
Kekejaman ini berlangsung selama
bertahun-tahun. Setiap pasangan Bani Israil yang baru menikah akan dicatat dan
dipantau sembilan bulan kemudian untuk diperiksa apakah pernikahan itu
membuahkan anak atau tidak, dan dalam salah satu riwayat dikisahkan para bidan
kerajaan yang bertugas membantu kelahiran diperintahkan untuk langsung membuang
bayi yang baru lahir itu ke Sungai Nil untuk dibiarkan tenggelam jika yang
terlahir adalah seorang bayi laki-laki.
Dalam suasana yang mencekam itu Imran, yang
merupakan keturunan imam di garis keluarga Levi memutuskan untuk bercerai dari
istrinya Yokhebed, khawatir dalam penyatuan mereka akan melahirkan anak lelaki
lain, saat itu mereka sudah memiliki satu anak perempuan bernama Miryam dan
anak laki-laki bernama Harun yang sudah berusia sekitar dua tahun ketika
perintah Firaun diluncurkan, sehingga ia terbebas dari perintah pembunuhan yang
ditujukan hanya untuk semua bayi laki-laki yang baru dilahirkan.
Miryam, sang anak berkata lantang menentang
rencana ayahnya untuk bercerai, "Keputusan ayah ini lebih buruk dibanding
titah Firaun. Adapun perintah Firaun hanya akan memutuskan orang tua dari anak
laki-lakinya akan tetapi keputusan ayah akan membuat anak perempuan terputus
juga dari orang tuanya." Imran, sang lelaki bijak membatalkan keputusannya
untuk bercerai yang kemudian diikuti juga oleh keluarga Bani Israil lain,
maklum saja keluarga Imran adalah panutan mereka. Bahkan Miryam pun pada
usianya yang muda (sekitar 5 tahun) sudah diakui sebagai orang terang. Adalah
Miryam juga yang mengatakan kalimat nubuwah, "Ibuku akan melahirkan anak
laki-laki yang akan menyelamatkan Bani Israil."
Tercatat dalam sejarah bahwa Yokhebed
sebenarnya sudah mengandung selama tiga bulan saat Imran menikahinya kembali.
Oleh karenanya Musa lahir lebih awal dibandingkan perkiraan para petugas
pencatat yang biasanya kembali pada bulan kesembilan setelah pernikahan. Saat
Musa dilahirkan cahaya bersinar di rumah itu, Imran kemudian memanggil Miryam
dan berkata "Nak, ramalanmu telah menjadi kenyataan." Kemudian bayi
Musa sempat diasuh dalam balutan kasih sayang keluarga itu dalam kurun waktu
tiga bulan lamanya, dan ia berhasil disembunyikan dari pantauan para pegawai
kerajaan. Hingga kemudian Yokhebed, menerima wahyu dari Allah Ta'ala - untuk
mengalirkan bayi Musa ke dalam sungai Nil. Peristiwa yang menunjukkan martabat
ketaqwaan yang tinggi dari seorang perempuan yang juga berasal dari garis
keturunan para imam dari keluarga Levi di Bani Israil. Petunjuk yang diturunkan
kepada Yokhebed diabadikan dalam Al Quran, surat Al Qashash:7,
"Dan kami ilhamkan
kepada ibu Musa; 'Susuilah ia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka
jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan
janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul."
Dengan
hati yang dipenuhi tawakal kepada Allah Ta’ala sang ibu mengalirkan bayi Musa
yang baru berusia beberapa bulan itu ke dalam sungai Nil di dalam tabut,
kemudian atas perintah ibu Miryam mengikuti sejauh mana sang adik terbawa
mengikuti aliran sungai. Hingga akhirnya saat sungai melintasi daerah istana tampaklah
bahwa para dayang memungut Musa yang masih ada di dalam tabut yang tertutup
dari tepi sungai Nil, tetapi saat itu mereka tidak berani membukanya. Akhirnya,
mereka meletakkan peti itu di hadapan istri Firaun yang bernama Asiyah binti
Muzahim. Berkat Asiyah-lah maka Firaun akhirnya mau menerima bayi Musa untuk
dirawat dalam lingkungan kerajaan.
Lalu
Allah Ta’ala membuat bayi Musa tidak mau disusui oleh perempuan manapun yang
berusaha menyusuinya. Disini peran Miryam sang kakak perempuan Musa kembali
muncul, dikisahkan bahwa Miryam saat itu merupakan salah satu bidan kerajaan di
usianya yang muda belia ia sudah dipercayai melakukan aktivitas dengan tingkat
kesulitan yang cukup tinggi. Miryam-lah yang memberi saran kepada siapa sang
bayi hendak dicoba disusui.
"Dan menjadi
kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya, hampir saja ia menyatakan rahasia
tentang Musa seandainya tidak Kami teguhkan hatinya supaya ia termasuk orang-orang
yang percaya (kepada janji Allah).
Ibu Musa berkata kepada
saudara Musa yang perempuan: 'Ikutilah ia,' maka kelihatanlah olehnya Musa dari
jauh sementara mereka tidak mengetahuinya.
Kami cegah Musa dari
menyusui kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu. Lalu
berkatalah saudara Musa: 'Maukah aku tunjukkan kepada kalian keluarga yang akan
memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
'Kami kembalikan Musa
kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berdukacita dan supaya ia
mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya." (QS
Al Qashash:10-13)
Selain itu Miryam yang salah satu arti
namanya berasal dari kata “mar” (מר) dalam bahasa Ibrani yang berarti
"air", kehidupannya memiliki asosiasi yang kuat dengan kejadian di
air, yaitu saat memantau bayi Musa di sungai Nil, saat memimpin kaum perempuan
menyebrangi Laut Merah beserta Musa dan umatnya sambil melantunkan puji-pujian
bagi Tuhan dan diabadikan dalam Perjanjian Lama pasal Keluaran 15:1 ; dan juga dalam tradisi Bani Israil dikenal
istilah "Sumur Miryam", yaitu mukjizat sumber air yang keluar di
dataran kering saat Bani Israil berkelana pasca penyeberangan di Laut Merah.
Dikisahkan bahwa kekeringan melanda Bani Israil setelah Miryam tiada yang
akhirnya membuat Musa as memecah batu dan darinya mengalir dua belas mata air.
"Dan (ingatlah)
ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu
itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.
Sungguh tiap-tiap suku
telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki
(yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan
berbuat kerusakan." (QS al-Baqarah [2]: 60).
Ihwal wafatnya Miryam tertulis di dalam
Taurat, "Seluruh rombongan Bani Israil tiba di Gurun Tzin pada bulan
pertama, dan orang-orang berkumpul di Kadesh. Miryam menghembuskan nafas
terakhirnya di sana dan dimakamkan di tempat yang sama" (Bilangan 20:1).
Dikabarkan kepergian Miryam adalah sebuah kematian yang indah dan tidak
menyakitkan yang diungkapkan sebagai dijemput oleh ciuman kematian "kiss
of death". Keagungan dan keberkahan kiranya terlimpah kepada mereka yang
menolong para utusan-Nya.[]
Referensi:
1. Wikipedia. Miriam. https://en.wikipedia.org/wiki/Miriam. 5 Juli 2017.
2. Andrews, M. Miriam: A Treasure of the Nile. Waterbrook Press, 2016. Colorado.
3.
Crawford, SW. Traditions about Miriam in
the Qumran Scrolls. University of Nebraska - Lincoln, 2003.
4. Katsir I. Kisah Para Nabi. Qisthi Press, Jakarta, 2015.