Thursday, May 25, 2017

Kedahsyatan Dzikir 'Laa Hawla Walaa Quwwata

Seorang sahabat Nabi yang bernama 'Auf bin Malik Al Asyja'i pergi menemui Rasulullah Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah sesungguhnya anakku Malik pergi bersamamu berperang di jalan Allah dan ia belum pulang, apa yang harus saya perbuat? Padahal seluruh pasukan sudah pulang."

Rasulullah Saw bersabda, "Ya 'Auf perbanyaklah bagi kamu dan istrimu berdzikir 'laa hawla wa laa quwwata illa billah' - tiada daya dan upaya selain dari Allah'"

Auf kemudian pulang dan menemui sang istri yang tengah menanti kabar tentang kepulangan anaknya juga. Melihat suaminya datang sang istri sholihah bertanya, "Wahai 'Auf, apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam?"
'Auf menjawab, "Beliau mewasiatkan bagi kita agar banyak berdzikir laa hawla wa laa quwwata illabillah'".  Kemudian suami istri itu melaksanakan pesan Rasulullah.

Sampai saat malam yang gelap tiba, seketika ada yang mengetuk pintu, ketika 'Auf membuka pintu ternyata anaknya Malik datang sambil membawa banyak sekali domba sebagai ghonimah (harta rampasan perang).

Melihat ayahnya yang terkejut Malik mencoba menjelaskan, "Sesungguhnya musuh telah menangkapku dan mengikat dengan rantai besi pada kedua tangan dan kakiku. Ketika malam tiba saya berusaha keras untuk kabur tapi tidak bisa karena kuatnya ikatan rantai besi tersebut. Namun tiba-tiba rantai itu menjadi longgar sehingga kaki dan tangan saya bisa lepas. Kemudian ada malaikat yang membawa saya hingga saya bisa pulang secepat kilat menempuh perjalanan jauh malam ini."

Subhanallahi al 'adzim

Wednesday, May 24, 2017

Pengabdian At Tirmidzi Kepada Sang Bunda

Suatu hari, ketika cahaya surya yang terik melecut bumi seorang anak lelaki bernama Abu Abdullah Hakim Al-Tirmidzi memutuskan untuk mengembara bersama dengan dua sahabatnya, menuntut ilmu. Namun niat luhur itu kandas, lantaran sang ibu tidak menyetujui keberangkatannya.
“Wahai buah hatiku, mengapa Ananda tega meninggalkan wanita yang sudah renta tak berdaya ini? Bila engkau pergi, tidak ada lagi seorang pun yang Ibunda miliki. Sebab selama ini engkaulah tempat sandaranku. Lalu kepada siapa Ananda akan menitipkan Ibunda yang sebatang kara dan lemah ini? Kata Ibundanya bercucuran air mata.
Apa boleh buat, ia terpaksa mengurungkan niatnya, sementara kedua sahabatnya berangkat. Keberangkatan kedua sahabatnya itu sering membuat Tirmidzi termenung. Suatu hari ia duduk termenung di sebuah makam, membayangkan kedua sahabatnya yang akan pulang. “Oh sedihnya aku, tiada seorangpun memperdulikan orang bodoh seperti aku. Sedangkan kedua sahabatku akan kembali sebagai orang terpelajar dan berpendidikan,” katanya, dalam hati sangat sedih.
Tanpa disadari, muncul seorang kakek dengan wajah teduh. “Mengapa engkau menangis, anakku?” tanya si kakek. Maka Tirmidzi pun menceritakan perihal kegundahan hatinya. Mendengar itu si kakek menawarkan kepada Tirmidzi untuk belajar kepadanya. “Maukah engkau belajar kepada saya setiap hari, sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu singkat?” kata sang kakek. Tentu saja Tirmidzi sangat senang. “Baik aku bersedia,” katanya berseri-seri.
Hari demi hari, kakek tua itu mengajar Tirmidzi. Sekitar tiga tahun kemudian, barulah Tirmidzi menyadari bahwa si kakek itu sesungguhnya adalah Nabi Khidir. “Rupanya inilah keberuntungan yang kuperoleh karena telah berbakti kepada Ibuku dengan penuh ketulusan hati,” katanya dalam hati.[]