Saturday, March 30, 2013

Budak Wanita Yang Tidak Suka Dibebaskan


Sebagian orang-orang shaleh berkata, “Saya keluar pada suatu hari ke pasar dan bersamaku seorang budak wanita dari Habsyi, lalu saya menyuruhnya diam pada suatu tempat ke arah pasar dan berkata kepadanya, “Janganlah kamu meninggalkan tempat ini sehingga saya kembali kepadamu!”.  Kemudian saya pergi mendapatkan keperluanku di pasar dan ketika kembali saya tidak mendapatkannya di tempat.
Maka saya kembali ke rumah dalam keadaan marah kepadanya.

Ketika sang budak wanita itu melihat kemarahan pada wajahku, ia berkata “Wahai tuanku, janganlah tergesa-gesa menghukumku sesungguhnya engkau menempatkanku pada suatu tempat dimana saya tidak melihat padanya orang yang berzikir kepada Allah Ta’ala. Maka saya takut bahwa tempat itu akan ditenggelamkan.”

Maka saya kagum terhadap perkataannya dan berkata kepadanya, “Kamu mulai sekarang orang yang merdeka.”
Lalu ia berkata, “Alangkah buruknya hal yang kau perbuat. Jika saya melayanimu maka saya memperoleh dua pahala (Pen: Pahala melayani manusia dan Tuhan). Adapun sekarang, maka hilanglah dariku salah satu dari keduanya.”[]

Dzunnun Diajari Tentang Makna Tangisan


Dzunnun Al Mishri berkata, “Saya keluar suatu malam ke lembah Kan’an. Ketika saya naik ke atas lembah tiba-tiba datang sesosok hitam kepadaku dan ia membaca ayat,

“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah diperkirakan.”
(QS Az Zumar: 47)

Dan ia menangis.
Kemudian sesosok hitam itu mendekatiku, ternyata ia adalah seorang wanita berjubah hitam, ia bertanya, “Siapakah kamu?”
Maka saya menjawab, “Seorang laki-laki asing.”
Lalu wanita itu berkata, “Hai orang asing, apakah ada keasingan bersama Allah.”
Dzunnun terus berkata, “Maka saya menangis karena perkataannya.”
Kemudian wanita itu bertanya kepadaku, “Apa yang membuat kamu menangis?”
Maka saya menjawab, “Sungguh obat telah jatuh di atas hati yang luka.”
Wanita itu berkata, “Kalau kamu benar, maka mengapa kamu menangis.”
Maka saya menjawab, “Mudah-mudahan Allah merahmatimu, dan apakah orang benar itu tidak menangis?”
Wanita itu menjawab, “Tidak!”
Saya bertanya, “Mengapa demikian?”
Wanita itu menjawab, “Karena menangis itu kesenangan hati.”
Maka saya terdiam karena kagum terhadap perkataannya.[]

Sya’wanah Sang Penghias Surga


Muhammad bin Muadz berkata: 
“Seorang wanita dari wanita yang ahli beribadah berkata, “Saya bermimpi dalam tidurku seolah-olah saya memasuki surga. Maka tiba-tiba penghuni surga berdiri pada pintu mereka, lalu saya berkata, “Apa urusan para penghuni surga itu berdiri?” Lalu seseorang berkata kepadaku, “Mereka keluar memandang wainta ini dimana surga dihias karena kedatangannya.”
Maka saya bertanya, “Siapa wanita ini?”
Lalu dikatakan, “Ia adalah seorang budak wanita hitam dari penduduk Al Aikah yang dipanggil dengan nama Sya’wanah.”

Wanita yang bermimpi itu berkata, “Ia adalah saudara perempuanku demi Allah.” Lalu ia terus berkata, “Maka seketika itu juga saya tiba-tiba berhadapan dengannya di atas kendaraan yang pandai terbang dengannya. Maka ketika melihatnya saya panggil, “Hai saudara perempuanku! Apakah kamu tidak melihat tempatku dari tempatmu. Jikalau engkau berdoa bagiku kepada Tuhanmu, niscaya Dia menyusulkanku denganmu.”

Wanita yang bermimpi itu terus berkata, “Maka wanita itu tersenyum kepadaku dan berkata, 
“Peliharalah dua perkara; yaitu tetapi kesusahan dalam hatimu dan dahulukan kecintaan kepada Allah atas hawa nafsumu.”[]

Ibadah Seorang Buta


Diriwayatkan dari Ujrah (seorang wanita Basrah) bahwa ia menghidupkan malam dengan beribadah dan ia adalah orang buta.
Maka apabila di waktu sahur, ia menyeru dengan suaranya yang menyedihkan, 

“Kepada-Mu orang-orang ahli beribadah memotong kegelapan malam. Mereka berlomba kepada rahmat-Mu dan karunia ampun-Mu, tidak dengan selain-Mu, agar Engkau menjadikanku dalam golongan orang-orang shaleh dan agar Engkau mengangkat aku di sisi-Mu dalam surga Illiyyin pada derajat orang-orang yang mendekatkan diri. Maka Engkau adalah yang paling penyayang di antara para penyayang dan paling Agung di antara orang-orang yang agung dan paling Pemurah di antara orang-orang yang pemurah. Wahai Tuhan Yang Pemurah!”

Kemudian ia jatuh tersungkur dengan keadaan bersujud dan ia senantiasa berdoa dan menangis sampai fajar.[]

Petuah Seorang Tua


Ketika saya berjalan di suatu perjalanan, tiba-tiba saya tertarik untuk beristirahat di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba seorang tua mendatangiku dan berkata, “Hai manusia! Bangunlah karena sesungguhnya kematian itu tidak mati!”
Kemudian ia pergi ke arah depan, lalu saya mengikutinya, lantas saya mendengar ia membaca ayat

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
(QS Ali Imran: 185)

Lalu saya berkata, “Dan apa yang terjadi sesudah kematian?”
Maka orang itu berkata, “Barangsiapa yang yakin dengan apa yang terjadi sesudah kematian, niscaya ia menyingsingkan kain kewaspadaan dan tidak ada baginya tempat di dunia.”
Kemudian orang itu berdoa, “Wahai Dzat yang bagi wajah-Nya bersungguh-sungguhlah semua wajah, putihkanlah wajahku dengan memandang kepada wajah-Mu dan penuhilah hatiku dengan kecintaan kepada-Mu, dan selamatkanlah saya dari kehinaan pencelaan besok di sisi-Mu. Sesungguhnya telah datang dariku rasa malu dengan-Mu dan telah tiba bagiku waktu kembali dari berpaling dari-Mu.”
Kemudian orang itu berkata, “Jikalau tidak ada kemurahan-Mu, niscaya tidak lapang bagiku ajalku dan jikalau tidak ada kemaafan-Mu, niscaya tidak terhampar pada apa yang di sisi-Mu akan cita-citaku.”
Kemudian ia berlalu dan meninggalkanku.[]

Kesungguhan Doa Aisyah ra


Al Qasim bin Muhammad berkata,
Di pagi hari saya mulai dengan menemui ‘Aisyah ra untuk memberi salam kepadanya.
Suatu hari saya pergi kepadanya dan ia sedang mengerjakan shalat dhuhur, ia membaca ayat

“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka” (QS Ath Thur: 27)

Dan ‘Aisyah menangis dan mengulang-ulangi ayat tersebut. Lalu saya berdiri hingga jemu dan ia masih seperti itu.
Ketika saya melihat itu, maka saya pergi ke pasar. Kemudian saya kembali dari pasar setelah membeli segala keperluanku, ia masih mengulang-ulangi ayat tersebut sambil menangis dan berdoa.[]

Friday, March 29, 2013

Menepati Cita-cita


Telah diriwayatkan dari Anas bahwa pamannya yaitu Annas bin An Nadhr tidak mengikuti perang Badar beserta Rasulullah saw. Lalu yang demikian itu membuat berat hatinya, ia berkata, “Tempat gugurnya orang yang mati syahid yang diikuti oleh Rasulullah saw dan saya tidak hadir padanya. Demi Allah, jikalau Allah memperlihatkan kepadaku tempat gugurnya orang yang mati syahid beserta Rasulullah, niscaya Allah akan melihat apa yang saya perbuat.”

Lalu Annas bin An Nadhr menyaksikan peperangan Uhud pada tahun berikutnya, lantas ia disambut oleh Sa’ad bin Muadz seraya berkata, “Hai Abu Amr! Kemana?”
Annas bin Nadhr menjawab, “Aduhai bau sorga di depan Uhud.”

Lalu Annas bin Nadhr berperang hingga terbunuh dan dijumpai pada tubuhnya delapan puluh lebih luka dari lemaran panah, pukulan dan tusukan. Saudara perempuannya, yaitu Bintum Nadhr berkata, “Saya tidak mengenal saudaraku kecuali dengan jari-jarinya.”
Maka turunlah ayat ini:
Ada orang-orang yang menetapi apa yang mereka telah janjikan kepada Allah
(QS Al Ahzab:23)

Ukuran Malaikat Jibril dan Israfil


Rasulullah saw bersabda kepada malaikat Jibril as
”Aku ingin untuk melihat rupamu yang itu rupamu.”
Malaikat Jibril as menajwab, “Engkau tidak sanggup demikian.”
Rasulullah saw terus bersabda,
“Tetapi tampakkanlah kepadaku.”
Maka Jibril menjanjikan kepada Rasulullah saw di maqam Baqi’ pada malam yang terang bulan. Malaikat Jibril datang bersama beliau, lalu Rasulullah saw memandang. Tiba-tiba malaikat Jibril telah menutupi kaki langit, yakni tepi-tepinya.
Maka Rasulullah saw jatuh pingsan, lalu beliau sadar dan malaikat Jibril as telah kembali kepada rupanya yang pertama.
Maka Rasulullah saw bersabda,
“Aku tidak menduga bahwa satu dari makhluk Allah sedemikian itu.”
Malaikat Jibril berkata, “Bagaimana jika engkau melihat malaikat Israfil. Sesungguhnya Arsy di atas bahunya, dan dua kakinya yang tembus di lapisan bumi yang paling bawah. Dan ia menjadi kecil daripada kebesaran Allah sehingga ia menjadi seperti washa, yakni seperti burung pipit yang kecil.

Maka perhatikanlah apa yang menutupi Malaikat Jibril dari kebesaran dan kewibawaan sehingga ia kembali ke batas tersebut. Dan para malaikat lainnya tidaklah seperti itu karena berlebih kurangnya mereka pada makrifat.[]

Bencana Tanda Cinta Allah


Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Musa as,
“Sesungguhnya Aku apabila mencintai seorang hamba, maka Aku mencobanya dengan bencana-bencana yang mana gunung-gunung tidak dapat berdiri karenanya, agar Aku melihat bagaimana benarnya.
Kalau Aku dapatkan ia penyabar, maka Aku jadikan ia kekasih, dan apabila Aku dapatkan ia orang yang gundah gulana dan mengadu kepada makhluk-Ku, maka Aku akan hinakannya dan Aku tidak akan peduli.”

Jadi, diantara tanda-tanda benar adalah menyembunyikan semua bencana dan taat semuanya dan tidak suka bahwa makhuk mengetahuinya.[]

Friday, March 22, 2013

Tuntaskan Pekerjaanmu!


Seseorang pernah berdiri beserta Abu Ubaid At Tutsuri dan ia tengah membajak tanahnya setelah Ashar dari hari Arafah, lalu sebagian temannya dari wali Abdal melewatinya lantas membisikinya dengan sesuatu. Maka Abu Ubaid berkata, “Tidak.”
Lalu teman itu berjalan seperti awan yang mengusap bumi sehingga ia hilang dari mataku. Maka saya bertanya kepada Abu Ubaid, “Apa yang ia katakan kepadamu?”

Abu Ubaid menjawab, “Ia memintaku agar saya menunaikan haji bersamanya, lalu saya menjawab tidak.”
Abu Ubaid kemudian menjelaskan, “Saya tidak mempunyai niat menunaikan ibadah haji dan saya telah berniat bahwa saya akan menyempurnakan tanah ini pada sore hari, sehingga saya takut kalau saya mengerjakan haji maka saya akan menghadapi kutukan Allah Ta’ala karena saya memasukkan dalam sesuatu amal bagi Allah dengan sesuatu selain-Nya. Maka apa yang saya lakukan itu menurut saya lebih besar daripada tujuh puluh kali haji.”

Ikhlas Sumber Kekuatan




Dalam cerita-cerita Bani Israil dikisahkan bahwa seorang Abid (yang ahli ibadah) menyembah Allah dalam masa yang lama, lalu suatu kaum mendatanginya lantas mereka berkata, “Sesungguhnya disini terdapat suatu kaum yang menyembah pohon, tidak menyembah Allah. Maka ia marah, karena demikian itu ia mengambil kapaknya dan ia menuju ke pohon itu lalu memotongnya.

Lalu iblis dalam bentuk seorang syekh menyambutnya lalu bertanya, “Kemana kau hendak pergi? Mudah-mudahan Allah merahmatimu.” Orang abid itu menjawab, “Saya hendak memotong pohon ini.”
Iblis bertanya, “Apa yang terjadi antara dirimu dengan pohon itu sehingga kamu meninggalkan ibadahmu, kesibukanmu dengan dirimu dan kamu mengosongkan diri untuk selain demikian?”
Maka abid menjawab, “Sesungguhnya ini sebagian dari ibadahku.”
Iblis berkata, “Saya tidak akan membiarkanmu memotongnya.”
Lalu iblis memeranginya, lantas abid tersebut menangkapnya dan membuangnya ke tanah dan ia duduk di atas iblis.

Maka iblis lemah, lalu berkata kepadanya, “Apakah kamu mempunyai keputusan tentang sesuatu perkara yang terjadi antara saya dan kamu, yang ia lebih baik dan lebih berguna bagimu.”
Abid itu bertanya, “Apa itu?”
Ibli menjawab, Lepaskanlah saya, sehingga saya berkata kepadamu.”
Lalu abid melepaskannya.

Maka iblis itu berkata kepadanya, “Kamu adalah orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Sesungguhnya kamu adalah beban atas manusia yang menanggungmu dan mungkin kamu ingin melebihi saudara-saudaramu dan membantu tetangga-tetanggamu, kamu kenyang dan tidak memerlukan manusia.”
Abid itu menjawab, “Ya.”

Iblis berkata, “Kembalilah dari urusan ini dan bagimu atasku bahwa saya memberi di dekat kepalamu setiap malam dua dinar, apabila pagi-pagi maka kamu mengambilnya, lalu kamu belanjakan untuk dirimu dan keluargamu dan kamu bersedekah kepada saudara-saudaramu.” Maka demikian itu lebih berguna bagimu dan bagi kaum muslimin daripada memotong pohon ini yang akan ditanami tempatnya. Dan memotongnya tidak mendatangkan bahaya sedikitpun kepada mereka. Dan kamu memotong pohon itu tidak membawa manfaat bagi saudara-saudaramu yang mukmin.”

Maka Abid itu berpikir mengenai apa yang dikatakan iblis dan ia berkata, “Syaikh itu benar. Saya bukan seorang nabi yang mengharuskan saya memotong pohon ini, dan Allah pun tidak menyuruh saya memotongnya sehingga saya durhaka dengan membiarkannya. Dan apa yang ia sebutkan itu lebih banyak manfaatnya.”

Maka iblis berjanji kepadanya untuk menepati janji tersebut dan bersumpah baginya. Lalu Abid itu kembali ke tempat ibadahnya lantas ia bermalam. Maka ketika pagi-pagi, ia melihat dua dinar di dekat kepalanya, lalu ia mengambilnya. Begitu pula keesokan harinya, kemudian pada pagi hari yang ketiga dan seterusnya ia tidak melihat apa-apa.

Maka abid itu marah dan mengambil kapak di atas pundaknya, lalu iblis menyambutnya dalam bentuk seorang syaikh, lalu ia bertanya kepadanya, “Kemana?”
Abid itu menjawab, “saya akan memotong pohon itu.”
Iblis berkata, “Kamu berdusta, demi Allah, kamu tidak mampu berbuat demikian dan tidak ada jalan bagimu kepadanya.”
Lalu sang Abid berusaha menangkap iblis seperti yang ia lakukan pertama kali.
Iblis berkata, “Amat jauh.”
Dengan mudah iblis menangkap dan membantingnya dan iblis duduk di atas dadanya seraya berkata, “Hendaklah kamu menghentikan apa yang hendak kamu lakukan atau saya akan menyembelihmu!”

Si abid melihat bagaimana tiba-tiba tidak ada kemampyan baginya untuk melawan iblis, maka ia berkata, “Wahai syaikh, engkau telah mengalahkanku, maka lepaskanlah aku dan beritahukanlah kepadaku bagaimana engkau dapat mengalahkanku sekarang.”
Iblis menjawab, “Sesungguhnya kamu pertama marah karena Allah dan hatimu adalah akhirat, lalu Allah menundukkanku bagimu, sedangkan kali ini engkau marah karena dirimu dan karena dunia, maka saya dengan mudah bisa mengalahkanmu.”[]