Sunday, January 16, 2022

 “Bagaimana menyikapi pasangan saya yang belum tertarik untuk bertaubat? Saya merasa seperti separuh sayap saya tidak bisa difungsikan untuk terbang kepada-Nya.”


I got this kind of question a lot.

And i can totally understand how troublesome the situation is. Trust me i can so relate to that. But here is the thing. 


Sayap itu keduanya sekadar ciptaan Allah. Dia hanya alat. Sekarang kalau Allah berkehendak agar seorang hamba itu sampai walaupun dengan sayap yang patah ya pasti akan ada saja jalannya dengan rahmat dan kuasa-Nya. Sebaliknya walaupun merasa memiliki sepasang sayap yang bagus dan kuat tapi kemudian Allah tak berkehendak agar dia terbang ya dijamin tak akan sampai. Dia mungkin bisa terbang tapi hanya tertawan di langit-langit ciptaan. Tetap berjarak dengan-Nya.


So, don’t be despair with situations. Jangan berputus asa dengan keadaan yang ada. Semua itu ciptaan-Nya, sesuai yang Dia kondisikan. Adapun kuasa-Nya jauh lebih berdaya dari kesulitan dan keterpurukan seburuk apapun yang bahkan tak terbayangkan dengan akal pikiran kita.


Keep the faith…

Saturday, January 15, 2022

 Awalnya sangat membenci Islam kemudian berubah menjadi mualaf setelah 8 minggu belajar Al Quran


"Saya sudah menyiapkan bom dan berencana meledakkannya di sebuah Islamic Center..."
Demikian pengakuan Richard McKinney, seorang veteran Korps Marinir Amerika yang sempat ditugaskan ke berbagai tempat di dunia termasuk Filipina dan Somalia dan kemudian menjadi memiliki sentimen yang sangat negatif bahkan kebencian terhadap Islam.

Suatu hari Richard sedang berbelanja bersama istrinya lalu berpapasan dengan dua orang perempuan yang mengenakan burqa hitam. "Saat itu darah saya mendidih. Saya sampai harus berdoa meminta kepada Tuhan kekuatan agar saya jangan sampai mematahkan kedua leher mereka." Di masa itu, Richard kerap minum minuman keras dan bisa menghabiskan beberapa liter per hari. Di saat sedang dalam kondisi itulah ia memiliki ide untuk membuat bom rakitan - yang ia telah pelajari tekniknya saat di Marinir dulu. Bom itu akan dia ledakkan di halaman depan Muncie Islamic Center ketika sedang ramai dikunjungi. Dia sudah menghitung korban yang akan mati dan terluka sekitar 200an orang. Saat itu, dia berpikir rencananya ini dia lakukan sebagai tindakan yang patriotik bagi negaranya.

"Kalaupun saya akan mati karenanya, saya tak peduli. Kebencian saya pada Islam adalah satu-satunya yang memompa semangat saya pada saat itu..."

Lalu pada suatu hari anak perempuannya yang duduk di kelas dua SD bercerita bahwa ibu dari teman sekelasnya berpakaian serba panjang dan mengenakan tutup kepala. "Saya tidak bisa melihat wajahnya selain dari kedua bola matanya" ujar si anak.

"Ketika mendengar hal itu amarah saya langsung meledak dan saya mengucapkan sekian kata yang tak sepatutnya dikatakan di depan seorang anak.

Anak saya saat itu tak mengeluarkan sepatah kata apapun melihat reaksi saya. Tapi tatapan matanya seolah mengatakan bahwa saya adalah orang yang paling gila sedunia. Ini anak saya sendiri yang sangat dekat dengan saya sebagai ayahnya. Kami bagaikan dua sahabat. Saat melihat reaksi anak saya yang seperti itulah hati saya mulai tersentuh. Akhirnya saya berkeputusan untuk memberikan orang-orang di komunitas Islam itu sebuah kesempatan.

Lalu saya pergi ke Islamic Center tersebut. Saat saya memasuki gedungnya dan membuka alas kaki saya. Ada seseorang yang menghampiri dan menyapa,

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya, saya ingin kamu ajari saya Islam"

Dia lalu mengambil Al Quran dan memberikannya kepada saya, "Silakan baca Al Quran ini."

Saya pun lalu membacanya. Dan saat saya menemukan hal-hal yang saya anggap ganjil, saya lalu kepadanya, "Nah, ayat ini apa maksudnya?" Dan ia lalu membantu menjelaskan. Saya tak menyangka pengalaman itu menjadi sebuah titik balik dalam hidup saya. Saya merasa ada sebuah kesadaran baru yang timbul. Singkat cerita setelah delapan minggu saya mempelajari Al Quran, akhirnya saya kembali ke Islamic Center itu untuk berikrar menjadi seorang Muslim."

Dan tiga tahun kemudian McKinney malah diangkat menjadi Presiden Muncie Islamic Center. Ia kemudian menjadi pembicara di berbagai tempat. Hal yang menjadi motivasinya adalah untuk menghilangkan kebencian. "Saya pernah mengalaminya dan telah melukai banyak orang karenanya. Saya belajar banyak dari hal itu. tapi setidaknya kalau saya bisa mencegah satu orang saja dari menapaki jalan kebencian. Maka saya sudah menang..."



Thursday, January 13, 2022

 Jodoh bagi Hafshah r.a.

Hafshah adalah anak perempuan Umar bin Khaththab r.a. yang lahir sekitar lima tahun sebelum Rasulullah saw menjadi nabi. Ia menjadi janda pada usia yang terhitung masih belia, yaitu 18 tahun ketika suaminya yang bernama Khunays bin Huthaafah Ibnu Qays as-Salami - salah seorang muslim di periode awal yang juga pernah ikut Perang Badar itu terkena luka berat pada Perang Uhud dan kemudian tak lama kemudian meninggal di Madinah.
Umar bin Khaththab sebagai ayah tentu ikut berduka cita atas kesedihan yang melanda puterinya tersebut. Setelah lama mempertimbangkan - ada yang mengatakan bahwa setelah menanti enam bulan lamanya - akhirnya Umar memutuskan untuk mencarikan jodoh bagi Hafshah, puteri yang ia sayangi itu. Dan figur lelaki yang terbayang di benaknya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai salah satu sahabat Rasulullah. Pikir Umar, seorang Abu Bakar pasti tak akan menolak menikahi perempuan yang muda, beriman dan juga anak dari sahabatnya sendiri, seorang laki-laki yang berjuang banyak untuk Islam.
Ketika Umar mengutarakan niatannya itu, Abu Bakar mendengarkan dengan simpati. Akan tetapi ia tidak memberikan respon apapun. Hal itu membuat Umar bersedih dan tak menyangka Abu Bakar seakan tak menerima tawaran untuk menikahi anak puterinya tersebut.
Umar pun sebagai ayah tak berputus asa. Dia lantas mencoba mendekati Ustman bin Affan dan menawarkan anaknya untuk ia nikahi. Tapi jawaban dari Utsman tak kurang membuat dia gusar. Utsman menjawab, "Saat ini rasanya aku belum terpikir untuk menikah."
Kekecewaan Umar semakin bertambah menghadapi penolakan dari Utsman, sedemikian rupa sehingga Umar mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw bagaimana Abu Bakar dan Utsman menolak untuk menikah Hafshah. Saat itu Rasulullah tersenyum dan berkata, "Hafshah akan mendapat suami yang lebih baik dari Utsman dan Utsman akan mendapat istri yang lebih baik dari Hafshah." (HR Bukhari). Dan memang tak berapa lama kemudian adalah Rasulullah saw sendiri yang menikahi Hafshah dan Utsman menikah dengan Ummi Kultsum, salah satu anak perempuan Rasulullah saw.
Umar terkejut, tak menyangka bahwa baginda Rasulullah saw sendiri yang berkenan menikahi anaknya. Saking gembiranya ia menceritakan hal tersebut kepada setiap orang yang ditemuinya. Kemudian ia bertemu kembali dengan Abu Bakar. Saat itu Umar berbicara terus terang kepada sahabatnya itu bahwa ia sebenarnya kecewa ketika Abu Bakar menolak tawaran untuk menikahi Hafshah. Abu Bakar dengan bijak memberinya selamat dan kemudian berkata, "Jangan kau marah kepadaku, wahai Umar. Sesungguhnya Rasulullah telah memberitakan kepadaku tentang Hafshah (bahwa ia adalah jodohnya), dan aku tidak akan membuka rahasia Sang Nabi. Seandainya Rasulullah melepasnya tentu aku akan menikahinya." Jadi diamnya Abu Bakar itu karena ia tidak ingin membuka rahasia yang Rasulullah pernah sampaikan kepada beliau tentang Hafshah.
Demikianlah, masyarakat Madinah kemudian bersuka cita dengan kabar pernikahan Rasulullah saw dengan Hafshah binti Umar yang kemudian dilaksanakan di bulan Sya'ban tahun ke-3 Hijriyah.
(Sumber: Hafsah Bint ‘Umar: The Prophet’s wife in Paradise. Islamweb.com)

 Tahukah sahabat bahwa universitas tertua di dunia didirikan oleh seorang perempuan muslim? Ya, seorang perempuan. Tidak benar kalau ajaran Islam menomorduakan atau bahkan menindas perempuan. Justru ajaran mulia ini mengangkat peran perempuan setinggi-tingginya.

Perempuan itu adalah Fatimah al-Fihri yang berasal dari sebuah kota bernama Fez di Maroko. Dia dilahirkan sekitar tahun 800 M, anak dari seorang saudagar kaya bernama Muhammad Bnou Abdullah al-Fihri yang tinggal di Fez pada masa pemerintahan Sultan Idris II, putera dari Idris I pendiri Dinasti Idrisiyah di Maroko.
Fatimah adalah seorang yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap agamanya. Maka ketika ia mendapat warisan harta yang demikian besar setelah kematian ayah dan suaminya, maka ia memutuskan untuk membangun masjid di Fez yang saat itu memang tengah sangat dibutuhkan keberadaannya. Ia membuat bangunan masjid yang besar, cukup besar untuk menampung umat yang kian banyak jumlahnya.
Fatimah membebaskan sebuah lahan dari seorang suku Hawaara. Proyek pembuatan masjid itu dimulai di bulan Ramadhan tahun 254 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 859 M, jadi pada usianya yang ke-59 tahun.
Masjid, selain merupakan ruang untuk beribadah digunakan juga untuk mencari ilmu. Kegiatan di masjid yang didirikan oleh Fatimah sangat sarat dengan nuansa akademik. Berbagai simposium dan debat kerap diselenggarakan disana. Berdasarkan sebuah dokumen bahwa berbagai posisi untuk menjadi tenaga pengajar mulai terbuka disana seiring dengan keberadaan berbagai perpustakaan. Itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas al-Qarawiyyin yang diakui oleh UNESCO dan Guiness World Records sebagai universitas pertama di dunia. Keberadaannya mendahului dua universitas tua lainnya seperti Masjid Sankore di Timbuktu (didirikan tahun 989 M) dan Universitas Bologna (didirikan tahun 1088 M).
Universitas al-Qarawiyyin menghasilkan sekian banyak pujangga, ahli fiqih, ahli astronomi dan ahli matematika yang berasal dari berbagai tempat di dunia. Diantara para lulusannya adalah Abdurrahman Ibnu Khaldun - sang sejarawan terkemuka, Abu Walid Ibnu Rusyd - sang filsuf dan dokter ternama, juga Gerbert of Aurillac yang menjadi Paus Sylvester II.
Fatimah wafat di usia 78 tahun. Sepanjang hayatnya beliau mendapat julukan "ibu dari anak-anak" yang menurut seorang sejarawan Muhammad Yasser Hilali sebutan itu kemungkinan karena kedermawanannya dan fakta bahwa ia senantiasa meraih anak-anak agar mendapat pendidikan. []