Friday, April 13, 2012

Kisah Pertaubatan Pembunuh Seratus Orang

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, dia berkata “Aku tidak bercerita kepada kalian, kecuali cerita itu telah aku dengar langsung dari Rasulullah saw. Kedua telingaku telah mendengarnya sendiri dan telah kusimpan di dalam hatiku pula.”

Hiduplah seseorang yang telah membunuh 99 orang. Dia kemudian ingin bertaubat, lalu dia pun bertanya kepada orang yang dianggap paling pandai di atas bumi ini. Oleh orang tersebut disarankan untuk menemui seseorang, dia pun berangkat untuk menemuinya. Setelah bertemu dengan orang yang dimaksud, dia lalu bertanya, “Aku ini adalah orang yang telah melenyapkan 99 nyawa, apakah aku masih dapat bertaubat?”

“Kamu telah membunuh 99 orang!” kata orang itu kepadanya.
Mendengar jawaban orang yang pandai demikian itu, lalu dihunuslah pedangnya dan orang pandai itu pun meninggal di tangannya, sehingga genaplah 100 orang dibunuhnya.

Demikianlah, dia tetap bertekad untuk taubat dan seseorang menunjukkannya agar datang menemui seseorang yang dianggap terpandai.
Dia pun datang kepadanya dan bertanya, “Aku telah membunuh 100 orang, apakah aku masih dapat bertaubat?”
“Siapa yang dapat menghalangimu dan bertaubat? Tinggalkan kampung halamanmu yang penuh dengan kemaksiatan itu dan pergilah ke desa yang lebih baik (desa yang menjadikanmu rajin beribadah bila tinggal di sana)!”

Dijalankannya saran orang tersebut, tetapi di tengah-tengah jalan ajal pun datang menjemputnya.

Setelah orang itu meninggal, maka berdebatlah malaikat bagian rahmat dan malaikat bagian azab.
“Akulah yang berhak atas dirinya, karena sesaat pun dia tidak pernah durhaka kepadaku!” kata sang iblis.
“Dia telah keluar untuk bertaubat!” bantah malaikat bagian rahmat.

Hamma berkata, “Telah bercerita kepadaku Humaid ath Thawil dari Bakr bin Abdullah Al Muzani dari Abu Rafi’, dia berkata, ‘Allah SWT lalu mengutus malaikat dan mereka pun mengadukan permasalahan tersebut kepadanya.’”

Kembali pada hadis Qatadah, ia berkata, “Malaikat terakhir itu lalu berkata, ‘Lihatlah kedua desa itu, mana jarak yang paling dekat dengan orang ini?’ setelah diamati ternyata dia lebih dekat jaraknya pada desa yang baik itu.

Hasan telah bercerita kepada kami, bahwasanya saat merasa bahwa dirinya akan segera menemui ajalnya, dia pun mempersiapkan diri dengan duduk dan kemudan Allah-lah yang menggeser posisinya hingga ia lebih dekat ke desa yang baik dan menjauhkannya dari desa yang jelek. Karena itu dia pun dianggap sebagai penduduk desa yang baik (yang hendak ditujunya)

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy. Mereka yang kembali, ragam kisah taubatan nashuha. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. 1999)

No comments:

Post a Comment